Episoder
-
Enggak terasa FTW Media sudah sampai episode terakhir aja, nih. Dari perjalanan kami mengupas representasi perempuan di media, ternyata masih banyak di antaranya yang nggak sensitif gender dalam pemberitaannya.
Masalahnya beragam banget, mulai dari seksisme, seksualisasi, stereotipe, hingga yang suara perempuan yang masih minim terwakilkan di media. Memang sih, saat ini sudah ada beberapa perubahan dengan inisiatif menarik seperti Womenunlimited.id, sebuah database berisi narasumber peeempuan di berbagai sektor. Dalam iklan kita juha bisa melihat kampanye suami sejati dari kecap ABC, dan lain-lain.
Tapi perubahan kayak gini nggak akan menjamur kalau konsumen kayak kita juga enggak mendukungnya. Kita bisa lho, mendorong produsen atau media untuk menggambarkan gender dengan lebih fair.
Yuk simak episode terakhir FTW Media ini!
Nah, kamu punya komentar, masukan atau pertanyaan terkait bahasan ini? Kamu bisa sampaikan melalui [email protected] atau bisa melalui pesan di media sosial kami ya!
-
Pernah nggak sih, kamu memperhatikan berapa jumlah narasumber perempuan dalam berita-berita yang kamu baca setiap hari? Satu? Dua? Memang jarang ya, kita melihat narasumber perempuan dikutip dalam artikel serius, apalagi terkait topik seperti politik dan ekonomi?
Ini bukan kebetulan, loh. Faktanya, fenomena macam ini terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia. Laporan dari Tempo Institute menyatakan bahwa dari 22.900 narasumber yang dikutip media, hanya 11 persen atau 2.525 orang di antaranya yang perempuan.
Kenapa ya, masih sedikit narasumber perempuan yang dikutip media? Kenapa sih, suara mereka penting untuk dimunculkan? Terus, gimana dong caranya meningkatkan suara narasumber perempuan dari berbagai sektor? -
Mangler du episoder?
-
Pernah enggak sih kamu perhatiin orang-orang melanesia atau Indonesia Timur lebih sering digambarkan sebagai preman, atau orang jahat di sinetron dan film.
Kalau pun mereka tidak digambarkan jahat, biasanya dijadikan bahan olok-olokan dan digambarkan tidak bisa tertib dan suka membuat onar.
Penampilan mereka pun biasanya digambarkan sebagai orang berkulit gelap dengan rambut yang keriting. Padahal tidak semua Melanesia berpenampilan seperti itu loh.
Alih-alih memberikan edukasi dan representasi yang baik untuk teman-teman minoritas, media malah menyebarkan representasi keliru seperti ini yang ujungnya bakal sangat merugikan kelompok minoritas.
Lantas, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengurangi representasi keliru ini? Sebetulnya, sudah sejauh mana sih media memperbaiki isu ini agar mereka lebih inklusif terhadap kelompok minoritas?
-
Di dunia dangdut, bukan hal langka mendapati penyanyi perempuan bergoyang erotis dan kerap mendapat pelecehan dari penonton laki-laki. Mulai dari saweran yang diselipkan di belahan dada hingga aksi meraba bagian tubuh si penyanyi perempuan saat si penonton laki-laki berjoget bersamanya di panggung. Emang harus banget ya seperti ini?
Bagaimana dengan genre musik yang lain? Sayangnya di genre lain pun, sebagian penyanyi perempuan enggak luput dari eksploitasi, mulai secara ekonomi sampai seksual.
Apa memang mustahil bagi penyanyi perempuan untuk mendapatkan ruang aman untuk berkarya? Apa saja yang bisa kita lakukan agar ruang aman tersebut dapat terwujud?
-
Tahun lalu, film asal Polandia "365 Days" sempat ramai diperbincangkan setelah tayang di Netflix.
Bercerita tentang romansa antara mafia Italia Massimo Torricelli dengan Laura Biel, seorang direktur penjualan sebuah hotel di Warsawa, Polandia, film ini menuai banyak kritik karena dianggap mengglorifikasi kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kritik terhadap film tersebut juga berlaku untuk banyak film yang mengangkat tema kekerasan seksual lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
Apa saja akibat pelanggengan kekerasan terhadap perempuan dalam film ya? Ada enggak sih, film-film lain yang ngomong soal kekerasan terhadap perempuan tapi enggak diglorifikasi?
-
Kamu pasti familiar banget dengan plot sinetron "Pintu Berkah" dan "Kisah Nyata", di mana karakter istri di dalam sinetron tersebut selalu digambarkan teraniaya dan terlampau baik. Ketika ia digambarkan menjadi antagonis, sifat jahatnya tampak enggak realistis banget.
Makin ke sini, rasanya banyak sinetron Indonesia yang semakin seragam: Tokoh perempuannya digambarkan entah sangat tipikal mulai dari super-pasrah dan terzalimi, tukang gosip, materialis, perayu, pelakor, atau mertua galak.
Ketika ada protes dari penonton soal kualitas plot dan karakter dalam sinetron, pihak industri sering berkilah "Loh kami kan cuma mengikuti selera pasar". Alasan klasik banget.
Apa iya industri memang memotret selera pasar? Apakah memang benar selera masyarakat selalu monoton dan cenderung menyudutkan perempuan? Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa mendorong keberagaman cerita dalam sinetron?
-
"Ngapain dah cewek maen PUBG, nyusahin aja kalo kalah."
"Cewek balik aja ke dapur, gausah maen game cowok"
Kamu sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini ketika bermain game? Kamu enggak sendiri kok. Banyak banget gamer perempuan yang mengalami hal yang sama, bahkan yang sudah di tingkat profesional. Enggak cuma itu aja. Di dunia game yang memang masih terkesan maskulin, sering kali penggambaran karakter perempuannya cenderung dangkal, penuh stereotip, serta diseksualisasi.
Kalau begitu, apa ya yang bisa kita lakukan agar dunia game bisa lebih inklusif? Sudah sejauh mana sih dunia game menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua gamer?
Yuk, simak selengkapnya dalam episode terbaru FTW media ini!
-
Siapa yang enggak kenal novel Fifty Shades of Grey dengan karakter Anastasia Steele dan pengusaha muda Christian Gre, novel dengan bumbu BDSM yang diterbitkan pada 2011 ini dan langsung booming di kalangan para pembaca perempuan. DI balik kesuksesan novel yang sudah diadaptasi ke layar lebar ini, banyak juga timbul perdebatan batas antara etika, kekerasan seksual dan emosional.
Ya berbicara soal kekerasan dan hubungan toksik di cerita fiksi romantis memang masih muncul dua kubu, ada yang bilang itu cuma fiksi doang santai dong, tapi ada juga yang bilang fiksi pun bisa jadi mempengaruhi para penikmatnya.
Semua memang kembali ke konsumen sih, tapi ada baiknya kita juga perlu punya saringan supaya cerita toksik semacam itu enggak memengaruhi kita sehingga enggak ada pemakluman terhadap kekerasan. Sebagai konsumen pun kita juga butuh percintaan lain yang enggak melulu toksik.
Nah apa saja yang bisa kita lakukan supaya cerita-cerita percintaah memiliki narasi yang beragam ya? Yuk simak cerita selengkapnya dalam podcast FTW Media episode terbaru ini!
-
Berlindung di balik anonimitas, jempol warganet gampang banget menuliskan komentar-komentar jahat di akun-akun orang lain, terutama di akun perempuan.
Kenapa perempuan lebih rentan di-bully di dunia maya, ya? Menurut Dhyta Caturani dari Purple Code, pandangan masyarakat yang masih misoginis telah berujung pada banyaknya ujaran-ujaran misoginis serta seksis di dunia maya.
Waduh, apa ya dampaknya jika perisakan online seperti ini terus terjadi? Apa iya hanya dengan log out dari media sosial, semua akan beres? Bagaimana seharusnya kita menghadapi hal ini?
Simak selengkapnya dalam episode terbaru podcast FTW Media ini ya!
-
Pernah enggak kamu memperhatikan iklan-iklan yang cuma memperlihatkan perempuan mengurus rumah tangga aja, sedangkan laki-laki bekerja di luar rumah. Sementara dalam iklan produk kecantikan, perempuan selalu dituntut tampil cantik dan wangi untuk kepentingan laki-laki.
Jangan dikira iklan produk itu enggak ada dampaknya, loh. Apa saja dampaknya? Apakah sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik? Episode terbaru podcast FTW Media yang satu ini mengupas tuntas soal ini. Cuss dengerin!
-
Mau bentuk wajah terlihat tirus, Kulit muka terlihat glowing, bulu mata lentik, dan bibir merah merona?
Sekarang hal itu bisa kita dapatkan dengan mengutak-ati filter kecantikan di kamera ponsel kita. Poof, kamu langsung bisa cantik dengan instan tanpa perlu susah-susah make up. Eh tapi tunggu dulu, semakin canggih filter kamera mengubah bentuk wajah hingga tubuh, hal ini ternyata berdampak sangat buruk bagi individu, apalagi perempuan yang sering menjadi target standar kecantikan yang tidak realistis.
Kalau kamu sendiri, pernah enggak mengubah bentuk wajahmu dengan filter-filterer kecantikan di beauty camera?
Jadi penasaran, mengapa banyak orang yang sangat bergantung dengan filter kamera? Dan bagaimana filter kamera ini berdampak pada pandangan kita terhadap ide soal standar kecantikan yang ideal? Simak episode selengkapnya dalam FTW Media episode terbaru ini ya!
-
Dalam episode perdana FTW Media, kami mengajak kamu untuk kembali melihat bagaimana tiap-tiap media massa menggambarkan perempuan dalam produknya. Iklan bumbu dapur yang selalu memperlihatkan perempuan dalam peran-peran domestik, serial televisi yang lebih banyak menggambarkan perempuan tidak berdaya dan selalu ditindas sang suami, hingga novel-novel populer yang mengglorifikasi karakter laki-laki yang super toksik.
Selain itu kami juga akan mengajakmu mengeksplorasi solusi-solusi apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah penggambaran perempuan yang lebih baik. Podcast ini merupakan bagian dari program Women Lead dan didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia. Nah, pantengin terus setiap Selasa ya!