Bölümler
-
Apa maksud Yesus naik ke surga? Mengapa Yesus perlu naik ke surga? Bukankah seandainya Yesus tinggal di dunia jauh lebih menyenangkan? Apa yang sebenarnya kita nantikan melalui Dia dan apa yang Dia rindukan?
-
Kekuatan suatu nasihat atau perintah dipengaruhi oleh jenis dan kualitas relasi antara pemberi nasihat atau perintah dengan penerimanya. Perintah seorang raja jelas mengandung keharusan. Tidak melakukan bisa berakibat fatal. Nasihat seorang guru kadangkala menyiratkan konsekuensi negatif jika tidak dilakukan. Begitu pula dalam relasi sehari-hari. Kita cenderung tidak mengabaikan nasihat orang yang kita tidak kenal atau tidak percayai. Sebaliknya kedekatan relasi dan kepercayaan seringkali menjadi pendorong yang kuat bagi orang lain untuk melakukan apa yang dinasihatkan. Ada daya persuasi yang kuat di dalam relasi yang erat.
Itulah yang sedang dilakukan oleh Paulus di teks kita hari ini. Dia bukan hanya memberikan sebuah perintah kepada jemaat Filipi. Dia juga mengungkapkan kualitas relasi antara dirinya dengan jemaat. Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar perkataan manis yang menipu atau yang hanya manis di bibir saja (lip service). Tanpa diucapkan pun jemaat Filipi pasti sudah tahu, tetapi Paulus tetap merasa perlu untuk mengekspresikannya.
-
Eksik bölüm mü var?
-
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk rasional. Kita selalu berusaha untuk melihat dan menerangkan segala sesuatu (fenomena dan/atau fakta) sebagai sebuah kesatuan yang masuk akal (logika). Otak kita tidak dirancang untuk menerima kontradiksi. Walaupun kebenaran melampaui batasan logika, tetapi tidak ada kebenaran yang menabrak logika. Walaupun pengetahuan kita tidak bisa mencerna semua fakta yang ada, kita memahami kebenaran sebagai sesuatu yang selaras dengan fakta.
Bagaimana jika seseorang mempercayai sesuatu yang bertabrakan dengan fakta dan logika? Situasi seperti ini menunjukkan bahwa persoalan utama orang tersebut bukanlah persoalan intelektual. Bukan kurangnya data. Bukan kurangnya argumentasi. Persoalan orang itu adalah persoalan spiritual – emosional. Kenyamanan perasaan dijadikan tuan. Firman Tuhan ditolak sebagai pijakan kebenaran.
Teks kita hari ini menunjukkan bahwa orang percaya juga kadangkala terjebak pada kesalahan yang sama. Apa yang mereka pikiran bertabrakan dengan logika. Apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan fakta.
-
“Kebebasan” adalah hal yang dinantikan oleh banyak orang. Secara khusus, masa pandemi sejak tahun 2020 sampai sekarang telah menempatkan banyak orang dalam “penjara.” Sebagian orang terpenjara dalam kesedihan karena kehilangan orang yang mereka kasihi. Sebagian lagi terbelenggu dalam kekecewaan dan keputusasaan karena pekerjaan dan keluarga mengalami goncangan besar. Ada pula yang terikat dengan kekuatiran menghadapi tahun yang baru ini. Akankah tahun ini menjadi lebih baik daripada dua tahun terakhir?
-
Semua manusia pasti memiliki keinginan. Allah menciptakan kita sebagai makhluk yang berpribadi. Kita memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak. Jadi, memiliki keinginan, pada dirinya sendiri, tidak keliru, bahkan tidak terelakkan.
Yang sering menjadi masalah adalah objek dan motivasi keinginan. Apa yang kita ingini? Mengapa kita mengingini itu? Seberapa besar kita menginginkannya? Jika yang kita ingini adalah keliru dan kita begitu menginginkannya, kita sedang membawa diri kita ke dalam bahaya. Hati mengalahkan akal budi. Hawa nafsu menabrak segala sesuatu.
-
Seberapa puaskah Anda dengan gereja Anda saat ini? Apakah Anda menilainya berdasarkan faktor bagaimana Kristus diberitakan di atas mimbar? Bagaimana jadinya jika gereja tidak memberitakan Kristus di atas mimbar?
-
Semua orang pasti setuju bahwa moralitas bersentuhan dengan isu komunal. Maksudnya, benar atau salahnya suatu tindakan dinilai dalam kaitan dengan orang lain. Moralitas lebih luas daripada perasaan dan kenyamanan pribadi masing-masing orang.
Yang belum disepakati oleh semua orang adalah cakupan aspek komunal. Sejauh mana orang lain berpengaruh atau menentukan moralitas suatu tindakan? Tidak ada jawaban seragam untuk pertanyaan ini.
Sebagian orang menganggap pandangan mayoritas sebagai patokan kebenaran. Apa yang wajar dianggap benar. Pandangan orang sangat menentukan. Suatu tindakan bahkan seringkali dilakukan atau diaminkan hanya supaya diterima oleh banyak orang.
Sebagian orang menganggap pandangan orang lain tidak seberapa perlu untuk diperhatikan. Yang penting adalah apa yang kita rasakan. Sejauh tidak merugikan atau mengganggu orang lain, apa saja boleh saja dilakukan. Moralitas lebih bersifat personal. Batasannya cukup sederhana: orang lain jangan sampai dirugikan.
Teks kita hari ini memberi pandangan yang berbeda. Pandangan banyak orang memang tidak menentukan, tetapi bukan berarti boleh diabaikan. Moralitas sangat bersifat komunal.
-
Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus? Keanggotaan dalam sebuah gereja bukan indikator yang aman. Keaktifan dalam pelayanan juga bukan jaminan. Sebagian orang yang rajin beribadah di gereja atau terlibat aktif dalam pelayanan ternyata memiliki gaya hidup yang bertabrakan dengan keyakinannya.
Tidak mudah memang untuk mengetahui kesungguhan iman seseorang. Hanya Tuhan yang bisa melihat isi hati manusia secara transparan. Penilaian-Nya tidak mungkin salah.
Walaupun penilaian tanpa keliru hanya milik Allah, hal itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa menilai sama sekali. Kesungguhan iman pasti terpancar dalam tindakan. Iman bukan sekadar persetujuan konseptual atau keyakinan emosional. Iman yang benar menghasilkan buah-buah kesalehan.
Dalam teks hari ini Rasul Yohanes mengajarkan salah satu indikator yang sangat aman untuk mengukur kesungguhan iman seseorang, yaitu kasih kepada sesama. Kasih bukan hanya menjadi salah satu karakteristik, tetapi sekaligus indikator utama untuk menilai iman seseorang. Tuhan Yesus sendiri pernah mengatakan: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).
-
Istilah “perspektif” (sudut pandang) tentu tidak asing bagi banyak orang. Kata ini bukan merujuk pada apa yang dilihat, tetapi lebih pada bagaimana seseorang melihat. Yang dilihat mungkin sama, tetapi pemahaman orang bisa berbeda. Faktor penentu terletak pada perspektif.
Nilai penting perspektif tidak perlu diragukan lagi. Sudut pandang menentukan penilaian. Sebagai contoh, sampah di mata banyak orang adalah barang yang tidak berguna, bahkan berbahaya. Namun, bagi para pemulung dan petugas kebersihan sampah adalah sumber nafkah bagi keluarga. Bagi beberapa pengusaha sampah bahkan bisa menjadi sumber penghasilan yang besar jika bisa didaur ulang. Apa yang tidak berguna bagi seseorang bisa menjadi berguna bagi orang yang berbeda.
Hal yang sama berlaku dalam kerohanian. Cara pandang seseorang sangat menentukan dalam banyak hal. Mereka yang melihat segala sesuatu dari perspektif bawah (kesementaraan) pasti akan menjalani hidupnya secara berbeda dengan mereka yang melihat dari perspektif atas (kekekalan). Itulah yang diajarkan oleh Paulus di teks kita hari ini.
-
Beberapa kali kita dikejutkan dengan berita kecelakaan maut yang terjadi di tempat wisata. Peristiwa semacam ini terdengar sangat miris dan ironis. Orang pergi ke tempat wisata untuk menikmati kesenangan dan kenyamanan, tetapi yang didapati justru kecelakaan dan kematian. Banyak orang tidak menduga. Dalam ketidaktahuan, mereka justru membawa diri ke dalam bahaya.
Yang paling menyedihkan adalah orang-orang yang sengaja menantang bahaya. Mereka sadar ada larangan dengan tujuan untuk menghindari ancaman kematian, tetapi mereka sengaja tidak mempedulikan. Merasa sok hebat dan kuat, mereka justru bersua maut. Kematian ternyata jauh lebih dekat daripada yang mereka perkirakan.
Keadaan bangsa Israel pada zaman Amos lebih mirip dengan situasi yang kedua. Merasa aman padahal semakin dekat dengan kebinasaan. Bersenang-senang sementara bahaya sebentar lagi datang.
-
Kita hidup di tengah sebuah zaman yang sangat mengagungkan kebebasan. Orang merasa berhak untuk berkata apa saja di mana saja tentang siapa saja. Orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa peduli dengan omongan siapa saja. Semboyan “yang penting tidak mengganggu orang lain” menjadi mantra yang membenarkan segala perkara.
Apakah itu yang disebut “kebebasan yang sebenarnya”? Teks hari ini menjelaskan bahwa kebebasan bukan ketidakpedulian. Sebaliknya, kebebasan mengarahkan kita pada kebaikan. Bukan berbuat apa saja demi kenyamanan diri sendiri, tetapi berbuat apa saja demi kebaikan bersama.
-
Topik tentang persepuluhan seringkali mendatangkan perdebatan. Ada banyak kebingungan dan keberatan. Bukan hanya terhadap teks dan penafsirannya, tetapi juga penerapannya. Ditambah dengan berbagai penyalahgunaan persepuluhan oleh rohaniwan, topik ini benar-benar menjadi isu yang sensitif. Suasana diskusi cenderung negatif.
Haruskah topik ini mendatangkan suasana negatif seperti itu? Tidak juga. Dalam teks kita hari ini tidak ada ada nuansa negatif sama sekali. Kesan utama yang ditangkap dari teks justru sukacita. Ada perayaan. Ada keramaian.
Khotbah hari ini mungkin sangat berbeda dengan pembahasan-penbahasan umum tentang persepuluhan. Harus diakui, teks hari ini sangat jarang dikhotbahkan dalam kaitan dengan persepuluhan, padahal ada banyak poin menarik yang bisa memperkaya pemahaman kita tentang topik ini.
-
Yang suka membaca kisah-kisah dongeng pasti menyadari bahwa salah satu alur cerita favorit dalam berbagai dongeng adalah pembalikan keadaan melalui sebuah kebaikan yang sepele. Misalnya, seorang pemuda menolong seekor katak yang terluka dan terkurung dalam sebuah lubang kecil. Ternyata katak tersebut adalah seorang puteri raja. Si pemuda akhirnya diangkat menjadi menantu raja. Kira-kira seperti itu jalan ceritanya. Sebuah perbuatan baik yang sepele bisa mengubahkan kehidupan seseorang.
Apa yang kita anggap sepele mungkin tidak sepele bagi orang lain. Dalam pengaturan Allah yang berdaulat, sebuah kebaikan kecil bisa berdampak besar. Pembalikan kehidupan mungkin saja terjadi dari sebuah tindakan yang kecil.
Teks kita hari ini memang bukan sebuah dongeng, tetapi sama-sama mengajarkan pentingnya perbuatan baik, sekecil apapun itu. Apa yang diajarkan memang bukan pembalikan keadaan, tetapi tetap ada unsur kejutan. Apa yang terlihat remeh di mata kita ternyata tidak selalu demikian di mata Tuhan. Kebaikan kepada orang yang kecil menunjukkan kebesaran hati dari yang melakukannya.
-
Mengukur kualitas kerohanian seseorang tidak gampang. Hanya Allah yang mengetahuinya secara pasti. Sebagai manusia kita hanya bisa melihat dari apa yang terlihat. Itupun tidak selalu tepat.
Sebagian orang melihat dari jabatan dan aktivitas di pelayanan. Ini bisa menipu. Apa yang terlihat bisa saja sekadar pencitraan. Sebagian lagi melihat dari disiplin rohani (ibadah dan saat teduh). Ini hanya sekadar sarana pertumbuhan, bukan ukuran atau tujuan.
Ukuran yang sejati adalah keserupaan dengan Kristus. Segala sesuatu yang menghalangi keserupaan dengan Kristus adalah sampah dan kerugian. Halangan ini bisa datang dari jabatan dan aktivitas gerejawi yang mungkin saja menumbuhkan arogansi. Bahkan disiplin rohani juga bisa menjadi halangan kalau membuat seseorang merasa diri lebih benar.
Teks hari ini akan mengajarkan kepada kita tiga konsep penting tentang keserupaan dengan Kristus. Tanpa memahami poin-poin ini kita akan mengalami keputusasaan pada saat menjalani prosesnya. Kita akan memberi penekanan yang keliru pada semua usaha kita.
-
Kita hidup dalam masyarakat yang mudah untuk marah. Pemandangan yang demikian sangat mudah ditemukan, bahkan dapat diterima oleh beberapa orang. Hal sepele bisa membuat seseorang langsung marah, misalnya jalur kita dipotong oleh kendaraan lain di jalan raya, atau ketika kita merasa diabaikan oleh penjual saat berbelanja, atau saat ada seorang teman yang tindakan atau perkataannya menyinggung perasaan kita, atau saat anak kita membantah perintah kita, tentunya masih banyak contoh lainnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika orang yang mudah marah itu adalah seorang Kristen?
-
Tahukah kita bahwa kata “keadilan” sebenarnya menakutkan? Hal ini benar bukan hanya bagi para pelaku kejahatan. Keadilan memang menakutkan bagi semua orang jika tidak disertai dengan belas kasihan.
Itulah sebabnya dalam proses pengadilan sikap seorang terdakwa turut memengaruhi keputusan pengadilan. Misalnya, sebuah pelanggaran yang berat akan dijatuhi hukuman sedikit lebih ringan apabila terdakwa menunjukkan sikap kooperatif, penyesalan, atau sikap lain yang positif. Sikap ini memang tidak meniadakan hukuman, namun bisa menjadi faktor yang meringankan. Dari sini terlihat bahwa keadilan harus ada, tetapi keadilan bukanlah segala-galanya.
Teks hari ini akan mengajarkan kepada kita betapa pentingnya menilai atau menghakimi orang lain dengan penuh belas kasihan. Ada alasan yang sangat kuat mengapa kita perlu menyandingkan keadilan dan belas kasihan. Ada konsekuensi yang sangat berat apabila kita gagal melakukannya.
-
Hidup bersama dalam satu keluarga tidak selalu mudah untuk banyak orang. Masing-masing terikat secara biologis dan emosional. Jumlah dan tingkat interaksi juga relatif sangat sering dan intensif. Dalam situasi seperti ini gesekan menjadi tidak terelakkan dan terus berulang. Situasi ini dapat melahirkan sebuah bahaya. Gesekan yang tajam atau konstan seringkali sukar untuk disembuhkan.
Tidak jarang antar anggota keluarga saling memendam dendam. Anggota keluarga kadangkala menjadi musuh dalam selimut. Dihindari tidak memungkinkan, dibiarkan sangat menyakitkan. Ketika keadaan ini terjadi, setiap orang perlu mengingat bahwa kebencian adalah kebodohan karena seseorang memilih kesakitan yang lebih panjang. Pengampunan memang mungkin lebih menyakitkan, tetapi sesudahnya akan memberikan kelegaan.
Teks kita hari ini mengisahkan suatu keadaan dalam sebuah keluarga yang cukup rentan bagi terjadinya pelampiasan dendam. Keluarga Yakub seluruhnya sudah berada di Mesir selama bertahun-tahun. Yusuf yang menjadi kepercayaan Firaun menyediakan segala kemudahan dan kenyamaman bagi mereka. Sebuah keluarga besar yang diikat oleh figur maskulin dominan, yaitu Yakub. Persoalannya, Yakub telah meninggal dunia (49:29-50:14). Saudara-saudara Yusuf merasa kuatir dengan keadaan ini. Mereka ingat bagaimana mereka dahulu telah berbuat jahat kepada Yusuf. Apakah Yusuf akan melampiaskan dendam setelah kepergian ayah mereka (50:15)?
-
Bagaimana cara terbaik untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar saleh? Jawabannya gampang. Tanyakan saja pada anggota keluarganya. Mereka tinggal bersama-sama tanpa bisa bersandiwara.
Keluarga adalah tempat yang sangat pas untuk otentisitas dan spiritualitas. Untuk otentisitas, karena seseorang tidak mungkin melakukan pencitraan. Semua topeng terpaksa ditanggalkan. Untuk spiritualitas, karena kesabaran dan kasih sayang benar-benar diuji setiap hari. Tidak ada tempat untuk melarikan diri.
Harus diakui, tidak banyak orang Kristen yang lolos (apalagi lulus) dari ujian ini. Yang penting adalah kemauan untuk mengoreksi dan memerbaiki diri. Slogan “tidak ada keluarga yang sempurna” bukan dalih untuk tetap hidup seadanya. Kita seharusnya bersyukur dan memaksimalkan keluarga sebagai ruang latihan untuk iman dan kesalehan.
Melalui teks hari ini kita akan belajar bahwa keluarga adalah gereja (individual) sekaligus mitra bagi gereja (komunal/institusional). Anggota gereja yang baik adalah anggota keluarga yang baik. Jika seseorang tidak mampu menjadi saksi di keluarga, bagaimana dia layak disebut rohani di gereja? Kalau dia tidak menjadi teladan yang baik di keluarga, bagaimana dia mampu menjalankan peranan dengan baik di gereja?
-
Bukan tanpa alasan jika Alkitab mengatakan “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” (Ams. 20:6). Kesetiaan dan konsistensi menjadi barang sangat langka sekarang ini. Banyak orang cenderung mementingkan ekspresi cinta yang luar biasa daripada kelanggengan cinta. Tidak heran, ketika relasi digerakkan oleh rutinitas dan diterpa oleh berbagai masalah, mereka merasa bahwa cinta itu sudah tidak ada lagi.
Situasi ini tidak mencerminkan cinta yang sejati. Cinta sejati itu mirip mentari. Kehangatannya memang kadang berkurang karena malam atau awan tebal, tetapi pasti kembali di pagi hari. Cinta seharusnya tidak pudar oleh usia maupun derita.
Mengapa banyak keluarga mengalami perpudaran cinta? Banyak alasan, baik personal maupun kultural. Secara personal mungkin dipicu oleh pertengkaran dan kekecewaan yang berkepanjangan. Secara kultural karena pengaruh semangat zaman. Di tengah zaman yang individual & anti komitmen, kepedulian sepanjang hayat semakin susah didapat.
Melalui teks hari ini kita akan bersama-sama belajar untuk memedulikan keluarga sampai masing-masing menutup usia. Kita akan melihat bagaimana Yesus Kristus tidak mengabaikan nasib ibu-Nya, walaupun Dia sendiri sedang menderita dan tidak memiliki apa-apa. Keluarga tetap ada di hati-Nya.
-
Bagi sebagian orang judul di atas mungkin sedikit membingungkan, bahkan mengagetkan. Kasih disandingkan dengan Hukum Taurat? Yang satu sering dilekatkan dengan kebebasan, sedangkan yang lain dengan keterikatan.
Kesan seperti ini muncul karena kita sering diletakkan dalam sebuah polarisasi antara cinta yang tanpa aturan dan aturan yang tanpa cinta. Di satu sisi, dengan mengatasnamakan cinta, semua objek cinta dianggap sah-sah saja. Para pelaku dan pendukung cinta romantisme sesama jenis adalah salah satu contohnya. Cinta dipandang tidak pernah salah. Di sisi lain, dengan mengatasnamakan aturan, para pelanggar kebenaran dijadikan objek cemoohan dan kebencian. Kelompok konservatif yang merendahkan kaum LGBTQ adalah contohnya. Orang “saleh” dianggap pasti lebih benar.
Dua kutub di atas telah melakukan kekeliruan yang fatal. Cinta tanpa aturan adalah sentimentalisme. Sebaliknya, aturan tanpa cinta adalah legalisme. Kita tidak ingin berada dalam ketegangan yang tidak diperlukan ini. Cinta berkali-kali salah. Aturan berkali-kali melukai. Hanya ketika cinta melandasi aturan, kita mendapatkan komunitas yang menyenangkan dan menggenapkan. Itulah yang ingin disampaikan oleh Paulus kepada kita hari ini.
- Daha fazla göster