Episoder

  • Salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah difabel. Mereka menghadapi tantangan yang lebih berat karena keterbatasan fisik dan akses terhadap sumber daya dan layanan yang diperlukan untuk menghadapi bencana akibat perubahan iklim.

    Sébastien Jodoin, seorang profesor di Universitas McGill di Kanada membuat sebuah laporan yang berjudul “Disability Inclusion in National Climate Commitments and Policies”. Laporan ini memberikan contoh dampak perubahan iklim terhadap difabel. Ketika badai Sandy terjadi di Amerika Serikat tahun 2012, banyak orang yang menggunakan kursi roda terjebak karena ketiadaan perencanaan evakuasi yang mempertimbangkan kebutuhan mereka.

    Laporan diatas juga menganalisis National Determined Contribution (NDC) atau komitmen iklim yang disampaikan negara peserta Perjanjian Paris-–kesepakatan iklim internasional tahun 2015 untuk menahan pemanasan suhu bumi ke angka 1,5°C pada 2030.

    Dalam laporan tersebut, mereka menemukan hanya 35 dari 192 negara yang menyertakan referensi tentang difabel dalam NDC mereka. Hanya 45 negara yang memasukkan difabel dalam kebijakan atau program nasional mereka dalam merespon perubahan iklim.

    Bagaimana penjelasan rinci mengenai permasalahan ini?

    Dalam episode Sains Sekitar Kita terbaru, kami berbincang dengan Walin Hartati, Ketua III Bidang Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Kita mulai merasakan dampak perubahan iklim: cuaca yang tidak menentu, suhu bumi yang meningkat dan mencairkan es di kutub, hingga kemarau atau hujan ekstrem.

    Meski demikian, isu perubahan iklim tersebut masih belum menjadi kesadaran bersama bagi seluruh masyarakat.

    Untuk mendorong terbentuknya kesadaran publik, sekelompok anak muda yang tergabung dalam koalisi Climate Education Now pada 2021 membuat petisi. Isinya mendesak pemerintah agar memasukkan materi tentang perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan yang berlaku.

    Menurut koalisi ini, lembaga pendidikan seperti sekolah berperan strategis dalam menumbuhkan kesadaran kolektif mengenai perubahan iklim. Mereka juga berpendapat bahwa sekolah dapat mengembangkan program-program yang bertujuan untuk menyampaikan pemahaman kepada siswa tentang nilai-nilai kehidupan dan menggali perilaku peduli terhadap lingkungan.

    Baca juga: 3 cara agar pendidikan bisa jadi solusi perubahan iklim

    Bagaimana cara mengintegrasikan pendidikan tentang perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia?

    Dalam episode Sains Sekitar Kita terbaru, kami berbincang dengan Nadia Fairuza, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Manglende episoder?

    Klik her for at forny feed.

  • Energi berperan krusial dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua kegiatan manusia memerlukan suplai energi.

    Selama ini, energi umumnya diperoleh dari sumber bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara. Namun, sumber ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada polusi udara dan perubahan iklim.

    Situasi ini menuntut perlunya adopsi langkah-langkah efisiensi serta transisi menuju penggunaan energi terbarukan guna mengurangi tingkat emisi.

    Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai kondisi nol emisi atau Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat, sesuai Perjanjian Paris. Untuk mencapai tujuan ini, Indonesia seharusnya memanfaatkan sumber energi terbarukan yang tersedia di tanah air, seperti surya, angin, air, bioenergi, dan panas bumi.

    Seberapa besar potensi energi terbarukan di Indonesia? bagaimana cara memanfaatkannya untuk mengurangi emisi di sektor energi?

    Dalam episode Sains Sekitar Kita terbaru, kami berbincang dengan Akbar Bagaskara, peneliti Bidang Ketenaga listrikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) yang sempat meneliti besarnya potensi energi terbarukan Indonesia.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • pexels pixabay

    Perubahan iklim memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan kita. Salah satu dampaknya adalah peningkatan risiko penyebaran penyakit oleh hewan vektor, seperti nyamuk. Hal ini terjadi karena perubahan iklim berhubungan dengan suhu, kelembaban udara, dan curah hujan.

    Perubahan iklim mempengaruhi siklus hidup nyamuk dan kebiasaan menghisap darah. Nyamuk termasuk dalam kategori ectothermic, yakni suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungan sekitarnya (suhu udara).

    Tahap siklus hidup yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah saat larva berubah menjadi nyamuk dewasa. Peningkatan suhu akan mempercepat proses perkembangan larva menjadi nyamuk dewasa.

    Selain itu, perubahan iklim juga dapat mempercepat proses pencernaan darah yang dihisap oleh nyamuk betina dewasa, sehingga intensitas penghisapannya menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan peningkatan frekuensi penularan penyakit.

    Bagaimana bisa perubahan iklim ini berdampak terhadap penyebaran penyakit?

    Dalam episode Sains Sekitar Kita terbaru, kami berbincang dengan Syafararisa Dian Pratiwi, anggota Research and Survey PIAREA Institute yang menjelaskan secara detail bagaimana perubahan iklim berdampak terhadap penyebaran penyakit menular, khususnya oleh hewan vektor seperti nyamuk.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Pemerintah baru menerbitkan aturan mengenai subsidi untuk pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), termasuk motor dan mobil listrik, yang akan berlaku mulai 20 Maret 2023. Tujuan dari pemberian subsidi ini adalah untuk mendorong ketahanan energi dan juga menciptakan udara yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih ramah.

    Bantuan subsidi akan diberikan oleh pemerintah untuk pembelian motor listrik roda dua sebesar Rp 7 juta per unit. Permintaan untuk bantuan subsidi ini mencapai 200 ribu unit motor sampai Desember 2023. Sedangkan untuk kendaraan roda empat atau mobil listrik, sebanyak 35.900 unit akan mendapatkan bantuan subsidi. Hingga saat ini, belum jelas berapa anggaran yang dialokasikan pemerintah tiap tahunnya untuk subsidi ini dan target spesifik terkait pengurangan emisi yang diharapkan.

    Baca juga: Pakar Menjawab: Subsidi jumbo bus dan motor listrik perlu digenjot, mobil listrik belum perlu

    Namun terlepas dari tujuan yang baik untuk mengurangi emisi, terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah, salah satunya adalah sumber listrik yang masih berasal dari pembangkit listrik batu bara yang menghasilkan emisi dalam jumlah besar.

    Dengan masalah ini, pertanyaannya kemudian adalah apakah pemberian subsidi terhadap penggunaan kendaraan listrik adalah solusi yang efektif untuk mengurangi emisi?

    Dalam episode Sains Sekitar Kita terbaru, kami berbincang dengan Alloysius Joko Purwanto, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) mengenai seberapa besar dampak penggunaan kendaraan listrik terhadap pengurangan emisi.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Perubahan iklim yang terjadi saat ini memiliki dampak buruk yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kerusakan lingkungan yang memengaruhi kesehatan manusia secara langsung, perubahan pola penyakit, dan perubahan ekonomi.

    Salah satu dampak yang sangat serius adalah pada kesehatan reproduksi, terutama bagi ibu hamil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti hipertensi, preeklampsia, serta risiko kelahiran prematur.

    Tak hanya perempuan, kesehatan reproduksi laki-laki juga terkena imbas. Naiknya suhu bumi bisa menurunkan kualitas sperma yang berdampak pada kesuburan dan kemampuan reproduksi laki-laki. Suhu lingkungan yang lebih tinggi dapat menurunkan jumlah sperma dan motilitas (kemampuan bergerak) sperma laki-laki, serta meningkatkan jumlah sperma abnormal.

    Bagaimana penjelasan lengkap tentang pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi manusia?

    Kami berbincang dengan Profesor Budi Haryanto, Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia dan Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim mengenai dampak serius yang diakibatkan oleh perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi, baik laki-laki dan perempuan.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Perubahan iklim bukan hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga mempengaruhi kelangsungan hidup masyarakat adat. Mereka berhadapan dengan berbagai tantangan terkait dengan pengaruh perubahan iklim pada sumber daya alam, kesehatan, kebudayaan, serta identitas.

    Pada akhirnya, perubahan iklim dapat mempengaruhi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat serta dapat menyebabkan krisis identitas.

    Perubahan iklim dapat mempengaruhi identitas masyarakat adat melalui berbagai aspek. Salah satu aspek yang signifikan adalah sumber daya alam yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat adat.

    Contohnya, kekeringan atau bencana alam dapat menyebabkan kerusakan tanaman ataupun kematian hewan yang menjadi sumber makanan bagi masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat adat harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Baca juga: Kearifan lokal bantu masyarakat adat beradaptasi terhadap dampak krisis iklim

    Sementara itu, bagaimana perubahan iklim bisa menimbulkan krisis identitas untuk beberapa masyarakat adat?

    Kami berbincang dengan Jangat Pico, pemuda Kader Sokola Rimba dan Nelce Etifera Assem, Ketua Eco Defender Jayapura mengenai bagaimana perubahan iklim memicu adanya krisis identitas ditengah masyakarakat adat.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis manusia. Mulai timbulnya perasaan takut kekurangan tempat tinggal yang layak, hingga situasi masa mendatang menimbulkan kecemasan yang cukup serius.

    Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat mengganggu kesehatan mental, yang dikenal sebagai eco-anxiety. Meskipun eco-anxiety bukanlah gangguan mental yang diakui secara resmi, tapi efeknya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis individu yang mengalaminya.

    Seperti apa penjelasan mendalam tentang eco-anxiety ini?

    Kami berbincang dengan Trevino Pakasi, pengajar di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Universitas Indonesia, tentang bagaimana kecemasan lingkungan menjadi permasalahan yang harus diperhatikan secara serius, khususnya bagi anak muda.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial maupun ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Indonesia berperan penting menjaga ekosistem global, terutama ekosistem gambut yang memiliki manfaat yang beragam. Dalam hal ini, Indonesia menjadi negara kedua dengan lahan gambut terluas di dunia sekitar 20 juta hektar.

    Keberadaan lahan gambut memberikan banyak manfaat bagi manusia, salah satunya sebagai tempat menanam sagu yang menjadi sumber pangan masyarakat sekitar. Selain itu, gambut juga memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 dalam jumlah yang sangat besar, untuk menyeimbangkan emisi gas rumah kaca di atmosfer Bumi.

    Sayangnya, hingga saat ini banyak lahan gambut yang rusak dan terbakar. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menyatakan hanya 4,02 juta hektare atau 16% dari total luas kawasan gambut Indonesia yang masih dalam kondisi baik. Sisanya rusak ringan hingga sangat berat.

    Baca juga: Kehilangan gambut berarti kehilangan aset Indonesia berusia 13 ribu tahun

    Untuk membahas betapa pentingnya kita peduli terhadap keberadaan gambut, kami berbincang dengan Wahyu Perdana, juru kampanye dari Pantau Gambut, sebuah organisasi non pemerintah yang berfokus pada riset, advokasi, dan kampanye untuk perlindungan dan kelestarian lahan gambut di Indonesia.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial & ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Indonesia memiliki tujuan besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pemanfaatan energi terbarukan. Tujuannya adalah untuk mencapai kondisi net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon pada 2060.

    Melalui pemakaian sumber energi yang ramah lingkungan, Indonesia diharapkan dapat membantu meredam laju perubahan iklim melalui pengurangan emisi sektor energi.

    Saat ini, sektor energi masih menjadi penyumbang terbesar dalam emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sektor ini menyumbang sekitar 40% dari total emisi karbon nasional atau sekitar 450 juta ton setara CO2 per tahun.

    Sayangnya, meski Indonesia memiliki sumber energi terbarukan seperti surya, air, angin, dan biomassa yang melimpah, pemakaian bahan bakar fosil dalam sektor energi masih mendominasi.

    Baca juga: Mengapa seretnya investasi energi bersih berbahaya bagi keanekaragaman hayati Indonesia

    Untuk mengulas bagaimana penggunaan energi terbarukan di Indonesia, kami berbincang dengan Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program di Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial & ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 membawa perubahan yang sangat besar di dunia, khususnya dalam hal teknologi dan produksi. Mesin-mesin industri yang bermunculan dalam skala besar mampu menghasilkan barang secara massal dan efisien.

    Peningkatan produktivitas yang terjadi di era ini berdampak positif bagi perekonomian dunia. Dengan jumlah produksi yang lebih banyak, penawaran barang bertambah dan permintaan masyarakat bisa terpenuhi dengan lebih baik. Sehingga, tingkat kesejahteraan pun meningkat.

    Namun, pada saat yang sama, Revolusi Industri juga menimbulkan berbagai dampak negatif. Salah satu yang terbesar adalah pencemaran udara, air, dan tanah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

    Dampak ini tak terlihat dalam jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang, imbas perubahan iklim semakin terasa dan bahkan meningkatkan biaya hidup sehari-hari.

    Untuk mengulas bagaimana perubahan iklim dapat menggerus keuangan masyarakat, kami berbincang dengan Retno Suryandari, peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial & ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Perubahan iklim merupakan masalah global yang perlu mendapatkan perhatian serius dari masyarakat dunia. Dampak perubahan iklim sangat beragam: kerusakan ekosistem, penurunan keanekaragaman hayati, serta kesejahteraan manusia.

    Tahun 2023 dibuka dengan badai dingin yang membekukan Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang. Sementara, Eropa mencatatkan rekor terpanas dalam sejarah. Kita juga terkejut dengan fenomena tanah Arab yang menghijau.

    Apakah kiamat sudah dekat? Yang jelas banyak ilmuwan sudah lama memprediksi cuaca ekstrem bakal kian marak.

    Lalu apa yang bisa anak muda lakukan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim? Hingga saat ini masih banyak orang yang meremehkan dampak perubahan iklim dan mengabaikan perlunya tindakan untuk mengatasi masalah ini.

    Untuk membahas permasalahan ini, kami berbincang dengan peneliti ekonomi internasional dan politik lingkungan Universitas Katolik Parahyangan, Stanislaus Risadi Apresian, tentang bagaimana cara untuk ikut berpartisipasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin parah.

    Dengarkan obrolan lengkap tentang sumber daya alam, energi terbarukan, dan dampak sosial & ekonomi akibat perubahan iklim dalam siniar (podcast) Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (Wikimedia Commons/Avandergeer), CC BY

    Pengetahuan ilmuwan sebelumnya hanya meyakini dua spesies manusia yang datang ke Indonesia - yakni manusia purba atau Homo erectus (berdasarkan riset terbaru sekitar 1,3 juta - 600 ribu tahun lalu), dan juga manusia modern atau Homo sapiens (mulai sekitar 70 ribu tahun lalu)

    Namun, hal tersebut berubah sejak 2004 ketika sebuah tim Indonesia-Australia mengumumkan penemuan sisa manusia purba lain yaitu Homo floresiensis atau kerap dipanggil si “Hobbit” di Flores, Nusa Tenggara Timur.

    Penemuan ini mengguncang komunitas peneliti arkeologi dan paleontologi saat pertama kali ditemukan.

    Selain ukuran bagian tubuhnya yang cukup kecil dengan karakter biologis yang bahkan lebih purba dari Homo erectus, sisa Homo floresiensis ini juga ditemukan di kepulauan Indonesia tengah atau “Wallacea” - daerah perairan dalam yang terisolasi oleh arus laut yang kuat sehingga sangat menyulitkan migrasi manusia purba dari barat maupun timur.

    Bagaimana cerita seru penemuannya di Flores, dan bagaimana penemuan si ‘Hobbit’ ini mengubah wawasan kita tentang pola evolusi dan migrasi manusia?

    Untuk menjawab hal tersebut, kami berbicara dengan Thomas Sutikna, arkeolog di University of Wollongong, Australia yang juga merupakan salah satu anggota tim legendaris yang menemukan Homo floresiensis.

    Bagaimana lengkapnya? Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir, dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (Pixy.org/Antonia Theriault)

    Salah satu metode pengobatan yang kini sedang banyak diteliti untuk menyembuhkan berbagai penyakit manusia adalah terapi stem cell, atau “sel punca”.

    Stem cell adalah sel yang memiliki kemampuan untuk regenerasi dan bahkan berkembang menjadi berbagai sel khusus seperti sel otak dan hati.

    Ini membuat stem cell memiliki potensi tinggi dalam memulihkan cedera atau kerusakan organ tubuh.

    Meskipun masih butuh banyak penelitian dan uji klinis (di negara maju sedang gencar dilakukan riset stem cell untuk mengobati kondisi neuro-degeneratif seperti Alzheimer), terapi stem cell telah digunakan secara terbatas dalam pengobatan penyakit terkait darah seperti leukimia atau berbagai bentuk penyakit tulang.

    Bagaimana stem cell bekerja, apa saja potensi maupun kontroversinya, serta bagaimana masa depan dari metode pengobatan ini?

    Untuk menjawabnya, pada episode ini Sains Sekitar Kita berbicara dengan Berry Juliandi, peneliti stem cell di IPB University, Bogor.

    Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir, dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (Unsplash/Greg Rakozy), CC BY

    Ilmu fisika modern telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak tahun 1915, ketika Albert Einstein menerbitkan sebuah konsep yang dikenal dengan Teori Relativitas Umum - seperangkat rumus yang menjelaskan cara kerja gravitasi dan hubungannya dengan pergerakan cahaya serta berbagai benda di alam semesta.

    Salah satu cabang ilmu fisika tersebut adalah kosmologi, yang mempelajari tentang awal dan akhir alam semesta.

    Ilmuwan mempelajari hal tersebut dengan meneliti berbagai fenomena di alam semesta seperti radiasi sisa ledakan “Big Bang”, lubang hitam, gelombang gravitasi, hingga “dark energy” (“energi gelap”).

    Dengan berbagai kemajuan ilmiah tersebut, pengetahuan apa yang kita miliki saat ini tentang kondisi alam semesta, asal usulnya, hingga takdir akhirnya nanti?

    Untuk menjawabnya, Sains Sekitar Kita pada episode ini berbicara dengan Husin Alatas, Guru Besar dan Kepala Divisi Fisika Teori di IPB University, Bogor.

    Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir, dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)

    Di masa depan, elektrifikasi dan pengembangan energi terbarukan menjadi semakin penting.

    Berbagai negara di dunia termasuk Indonesia kini mencari berbagai cara untuk mendukung infrastruktur dan transportasi dengan energi yang semakin hijau, semakin efisien, dan semakin tahan lama.

    Kementerian Perindustrian, misalnya, menargetkan produksi kendaraan di Indonesia terdiri dari 20% mobil listrik pada tahun 2025, dengan harapan pada 2040 akan naik menjadi 40%.

    Untuk mendukung visi ini, Indonesia membutuhkan industri baterai nasional yang maju untuk menyediakan berbagai komponen material dan teknologi baterai.

    Pada episode ini, Sains Sekitar Kita berbicara dengan Evvy Kartini, seorang peneliti senior di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan pendiri Institut Riset Baterai Nasional (N-BRI).

    Bagaimana perjalanan karir risetnya hingga pendirian institut tersebut? Dan apa langkah selanjutnya untuk mengembangkan industri baterai di Indonesia dalam beberapa tahun kedepan?

    Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir - dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (Unsplash/Dimitry B), CC BY

    Orang utan adalah spesies primata yang populasinya terancam secara kritis. Di Borneo, misalnya, riset memperkirakan terjadi kehilangan 100.000 orang utan - atau sekitar 50% populasi mereka - dari 1999 hingga 2015.

    Namun, suatu hal yang jarang diketahui adalah bahwa orang utan merupakan spesies kera besar yang paling soliter.

    Setelah 6 atau 7 tahun hidup bersama induknya, mereka akan mulai menyebar dan hidup menyendiri di home range atau daerah tinggal masing-masing.

    Lalu, bagaimana primata yang hidupnya soliter ini menemukan pasangan?

    Untuk menjawab misteri ini, kami berbicara dengan Tatang Mitra Setia, peneliti biologi konservasi di Universitas Nasional yang menghabiskan lebih dari dua dekade meneliti tentang perilaku orang utan.

    Beberapa penelitiannya, misalnya, menyelidiki bagaimana seruan panjang atau long call dari orang utan jantan digunakan sebagai mekanisme “sayembara cinta” untuk menemukan pasangan betina.

    Bagaimana lengkapnya? Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir - dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • Di Indonesia, setidaknya 640.000 orang mengidap HIV/AIDS pada 2018, dengan lebih dari 70.000 infeksi baru per tahunnya.

    Dalam upaya mencegah penyebaran AIDS di Indonesia, peneliti seringkali melacak perbedaan DNA atau ‘genom’ dari virus HIV. Ini dilakukan karena seiring waktu dan seiring menyebar ke berbagai negara, virus HIV bisa bermutasi atau bahkan bergabung dengan berbagai galur lain dan berkembang menjadi berbagai galur campuran.

    Hal ini penting diteliti karena perbedaan galur virus bisa menentukan pengobatan untuk pasien AIDS - mulai dari jenis obatnya (terapi anti-retroviral, atau ARV), pemberian dosisnya, atau bahkan untuk mengembangkan vaksinnya.

    Oleh karena itu, pada episode ini kami berbicara dengan Nasronudin, Ketua Gugus Penelitian HIV di Institut Penyakit Tropis, Universitas Airlangga.

    Nasronudin dan timnya berkolaborasi melakukan riset dengan peneliti Kobe University, Jepang untuk melacak berbagai galur HIV yang ada di Indonesia dan asal usul persebarannya dari negara mana saja.

    Selain berhasil memetakan rute transmisi HIV dari sumbernya di Kinshasha, Afrika hingga sampai ke Indonesia, riset ini juga membantu petugas kesehatan dalam memetakan karakter resistensi pengidap HIV dan jenis pengobatannya yang sesuai di setiap daerah.

    Bagaimana lengkapnya? Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir - dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • CC BY

    Sebelum terjadi pandemi COVID-19, pada tahun 2019 terdapat 1,5 miliar turis internasional, naik hampir dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

    Aktivitas turisme ini dipicu salah satunya oleh berbagai hal mulai dari semakin berkembangnya tujuan wisata di dunia hingga banyaknya berbagai lokasi ikonik yang muncul di film.

    Hal ini kemudian mendorong munculnya aplikasi yang dirancang untuk membantu pengalaman wisata. Di antaranya adalah aplikasi yang sebatas menyarankan tujuan jalan-jalan seperti TripAdvisor, hingga situs seperti Visit a City yang dengan detail membantu merancang jadwal dan rute perjalanan dari berangkat hingga pulang.

    Bagaimana cara kerja algoritma atau rumus matematika di balik berbagai aplikasi wisata tersebut? Kriteria seperti apa yang dipakai aplikasi tersebut untuk menciptakan rute perjalanan yang terbaik?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada episode kali ini Sains Sekitar Kita berbicara dengan Budhi Sholeh Wibowo.

    Budhi merupakan peneliti di Departemen Teknik Industri di Universitas Gadjah Mada. Sebagai ilmuwan data sekaligus ahli riset operasi, Budhi banyak meneliti tentang permasalahan terkait efisiensi perjalanan dan transportasi - seperti rute untuk trip wisata, rantai pasok perusahaan, hingga jaringan pelabuhan di Indonesia untuk mendukung wacana tol laut.

    Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir - dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!

  • (UN Pulse Lab Jakarta), Author provided (no reuse)

    Lalu lintas kendaraan di Jakarta merupakah salah satu yang paling padat di dunia.

    Sepanjang 2019, misalnya, waktu yang terbuang di jalanan karena kemacetan lebih dari 174 jam atau sekitar 7 hari per orang. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), produktivitas yang hilang akibat kemacetan ini setara dengan Rp 67,5 triliun.

    Pada episode ini, kami berbicara dengan Rizal Khaefi, ilmuwan data dari Pulse Lab Jakarta, laboratorium inovasi data di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Rizal dan timnya berupaya menyelesaikan masalah kemacetan ini dengan mendayagunakan data penggunaan internet dari warga Jakarta - salah satu kota di dunia yang paling aktif di media sosial dengan lebih dari 10 juta cuitan setiap harinya.

    Salah satu proyek riset mereka, misalnya, berkolaborasi dengan perusahaan transportasi online di Asia Tenggara, Grab.

    Mereka memanfaatkan data perjalanan mitra pengemudi mereka dalam merancang model lalu lintas yang bisa digunakan untuk membuat berbagai kebijakan transportasi dan pembangunan jalan.

    Bagaimana lengkapnya? Dari riset tentang epidemiologi, korupsi, sains data, kosmologi, kebijakan kemiskinan, hingga energi nuklir - dengarkan jawabannya dalam Sains Sekitar Kita di KBR Prime, Spotify, dan Apple Podcasts!