Episoder
-
Teori Evolusi selalu menjadi topik hangat di kalangan umat beragama termasuk umat Islam karena berkaitan dengan narasi penciptaan manusia. Pak Ahmad akan mengomentari Buku "Islam dan Teori Evolusi dari lensa Al Ghazali" karya Profesor Shoayb Ahmad Malik. Beliau menyebutkan ada 4 pandangan ulama dan ilmuwan muslim kontemporer, yaitu penolakan total, penerimaan bersyarat (pengecualian manusia, atau Nabi Adam) dan, penerimaan total
-
Konflik Gaza membuat kaum netizen mulai bertanya mengapa terkesan muncul opini bahwa Yahudi di Israel adalah korban permusuhan banyak orang? Apakah Islam mengajarkan untuk memusuhi Yahudi? Bagaimana perlakuan kekuasaan Kristen Eropa terhadap minoritas Yahudi di abad pertengahan hingga abad ke 20?
-
Mangler du episoder?
-
Data genomik manusia yang didapat dari whole genomic sequencing (WGS) minimal besarnya dari 1 orang sebesar 3Gb, hal ini karena DNA genom memiliki 3 milyar huruf genetik (yang abjadnya adalah G, A, T, C). Data sebesar ini tentu memerlukan proses komputasi yang kompleks. Ilmu komputasi untuk menganalisa, menganotasi dan menerjemahkan data genom ini dikenal dengan nama Bioinformatik. Bahkan Bioinformatik sendiri belum cukup untuk memanfaatkan data genomik tersebut. Perlu kombinasi data genomik dengan riwayat kesehatan sang relawan, apakah sehat atau sakit, apa jenis kelaminnya, riwayat pengobatannya sehingga perlu sarana dan infrastruktur komputasi yang cepat tapi juga aman tidak sembarang orang boleh mengaksesnya. Lebih jauh lagi perlu ilmu genomik/genetik konseling untuk mengkomunikasikan data tersebut baik ke para klinisi maupun anggota keluarga dengan bahasa yang mudah dipahami. Inisiatif BGSI biomedical genome science initiative adalah ekosistem dimana data genome dimanfaatkan sebesar2nya untuk kepentingan rakyat indonesia.SImak obrolan bersama pakar bioinformatik senior dari Universitas Gajah Mada, mas Tyas Ikhsan. Terkait infrastruktur jaringan komputasi, kita dengerin mas Satrio dari DTO digital transformation office Kemenkes RI.
-
Proyek Genom Manusia menunjukkan manfaat dalam memahami perjalanan penyakit termasuk upaya pencegahan penyakit. Namun mungkinkah itu diselewengkan untuk kepentingan militer seperti pengembangan senjata biologis?
-
Inisiatif Genome Sequencing di Indonesia sudah dirintis oleh para peneliti di Lembaga Eijkman, yang dipimpin oleh Prof Herawaty Sudoyo dkk. Tidak kurang dari 200 individu dari berbagai etnik di Indonesia telah dilakukan Whole Genome Sequencing (WGS) dengan mesin NGS NextGen Sequencing.Dari data NGS tersebut kita bisa belajar betapa kayanya variasi genetik di Indonesia dan ini bisa menjadi fondasi pengetahuan mengenai keragaman genetik serta sifat sifat yang relevan dengan kerentanan terhadap penyakit, baik yang menular (seperti tuberculosis) maupun yang tidak menular (kanker, diabetes, jantung, hipertensi, dll). Kelanjutannya, kolaborasi sesama ilmuwan genome di Indonesia terus berlangsung dan kini diperkuat dengan dibangunnya ekosistem inisiatif baru yaitu Biomedical Genome Science Initiative (BGSI). BGSI adalah lembaga dibawah Kemenkes RI dan memiliki misi mendayagunakan ilmu genom untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Ekosistem yang diciptakan BGSI akan melahirkan terobosan dan ilmu genom baru yang mengadaptasi dengan nilai dan norma yang diadopsi oleh bangsa Indonesia. Kalau Prof Herawaty Sudoyo fokus kepada individu sehat, BGSI akan melakukan Whole Genome Sequencing pada individu di Indonesia yang mengalami penyakit. Gabungan data genom yang dihasilkan dari Tim Eijkman dan juga dari Tim BGSI (yang tersebar di 9 hubs atau rumah sakit pemerintah dengan target 10K genome) akan menciptakan peta genom Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Hanya saja untuk apa dan siapa kemanfaatan dari pemetaan genome ini? Simak kata pak ahmad dengan tamu Ibu Ines Atmosukarto (Technical Advisor BGSI Pusat)
-
Menjadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah pilihan. Selama bulan Ramadan kita menegakkan komitmen terhadap pilihan tersebut, karena pilihan perbuatan akan ada konsekuensinya. Jangan salah pilih.
-
Penganiyaan brutal yang terekam oleh pelaku Mario mengundang banyak pertanyaan. Mengapa seseorang bisa sebrutal itu terhadap orang lain. Belum lagi perekaman oleh kawan pelaku juga mengundang motif apa yang mendorong mereka suatu perbuatan brutal seperti itu. Ada beberapa kemungkinan yang mendorong perilaku seseorang seperti pola asuhan, lingkar pertemanan, atau kontribusi genetik bawaan dan/atau epigenetik. Variasi gen MAO Monoamine Oxidase ditengarai dimiliki oleh mereka yang terbukti memiliki perangai brutal, agresif dan perilaku kriminal seperti serial killers. Namun studi lanjutan menunjukkan bahwa keberadaan variasi gen tersebut tidak otomatis melahirkan perangai brutal sebagaimana terjadi pada ilmuwan neurobiologi yang secara mengejutkan juga membawa gen tersebut. Di samping faktor genetik, ada juga faktor epigenetik yang bisa mendorong munculnya perilaku agresif. Studi epigenetik pada tikus menunjukkan pola asuh yang penuh kasih sayang bisa mempengaruhi perilaku tikus dewasa karena berkorelasi dengan tingkat metilasi pada promoter gen Glucocorticoid Receptor (GR). Semakin tinggi tingkat kasih sayang semakin rendah metilasi promoter sehingga protein GR bisa terekspresi lebih banyak. Banyaknya protein GR di otak bisa menyerap munculnya protein Cortisol sebagai penanda stress. Di lain, tikus yang tidak mendapatkan kasih sayang, pihak metilasi yang tinggi pada promoter gen GR mengakibatkan protein GR hanya sedikit yang terekspresi sehingga masih banyak Cortisol yang tidak terserap sehingga memberikan efek agresif. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang terjadi di masa kecil Mario Dandy, namun mekanisme genetik, epigenetik, dan pola asuh tentu bukan menjadi justifikasi, karena Mario Dandy dkk tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Referensi: 1. Penemuan variasi gen MOA yang berasosiasi dengan individu yang agresif https://www.science.org/doi/10.1126/science.82111862. Penemuan metilasi promoter gen NR3C1 pada individu kriminal yang agresif https://link.springer.com/article/10.1007/s00414-020-02328-7
-
Menulis proposal penelitian itu susah susah gampang. Susah karena banyak istilah dalam proposal yang menggunakan kata yang tidak lazim, seperti 'rumusan masalah' dan 'hipotesa'. Namun menjadi mudah kalau kita paham logika berpikir dalam penyusunan proposal. Sebenarnya sistematika proposal itu mengikut alur berpikir alami selama kita tahu konsepnya. Pertama, penelitian tentu diawali dengan mengenali atau mengidentifikasi masalah. Kedua, setelah masalah kita temukan, tentu sebagai peneliti kita mulai bertanya, kira2 kenapa masalah ini muncul? apakah karena terjadi di indonesia saja? atau berlaku umum? Kita tentu mulai bertanya apakah karena faktor ini dan itu. Nah pertanyaan karena faktor 'ini' adalah pertanyaannya. Lalu Ketiga, kita akan merumuskan hipotesa. Bunyi hipotesa penelitian itu selalu dalam bentuk pernyataan ya, bukan pertanyaan. Jadi bunyi hipotesa "adanya faktor ini memunculkan masalah". Nah tentu hipotesa adalah pernyataan atau jawaban sementara untuk menjelaskan kenapa masalah muncul kan. Jadi hipotesa tidak mungkin dalam bentuk kalimat tanya, ya namanya juga jawaban, tentu jawaban dalam bentuk pernyataan, bukan malah bertanya balik hehe. Nah setelah kita rumuskan hipotesanya (formulate hypothesis), baru kita merancang metode penelitian. Nah pastikan metode penelitian sesuai atau cocok dengan pertanyaan penelitian dan pas untuk menguji hipotesa kita. Terakhir, analisa dan pembahasan. nanti setelah data muncul, baru kita bahas. Nah dalam proposal tentu kita akan bahas potensi atau cara kita nanti membahas hasil penelitian dan membandingkannya dengan literatur yang lain.
-
Di era gaya hidup modern, kemunculan kanker payudara nampaknya akan terus meningkat. Meskipun kematian akibat kanker payudara bisa ditekan melalui program deteksi lebih awal sehingga lebih mudah diterapi, munculnya kanker payudara pada wanita yang jarang punya anak atau memiliki anak di usia lanjut akan terus bertambah. Faktor kehamilan yang sering dan praktik menyusui diketahui sebagai faktor protektif dalam mengurangi risiko kanker payudara. Maka pilihan untuk Childfree perlu dipertimbangkan dari aspek risiko kesehatan.
-
Diagnosa Kanker di era Biologi Molekuler semakin kompleks namun banyak informasi yang didapat, seperti kemungkinan kanker tersebut akan diwariskan ke keturunan atau apakah mutasi gen yang ditemukan bisa diterapi dengan terapi target yang spesifik terhadap mutasi tersebut.
-
Studi terbesar melibatkan hampir 500 ribu responden menunjukkan bahwa perilaku hubungan seksual non-heteroseksual tidak berdasarkan adanya satu gen. Namun melibatkan beberapa gen. Hanya saja kontribusi multi gen itu sangat kecil untuk menjelaskan fenotipe hubungan non heteroseksual (hanya sekitar 1%). artinya 99% perilaku tersebut tidak bisa dijelaskan secara genetik. Lebih jauh lagi, variasi 5 gen yang menunjukkan hubungan yang sangat kecil tersebut juga tidak bisa memberikan prediksi perilaku non heteroseksual dengan meyakinkan.
-
Dalam hal perilaku, kontribusi genetik tidak begitu kentara. Berbeda dengan penampakan fisik seperti warna kulit, atau penyakit seperti kanker dan talassemia dimana pengaruh mutasi gen bisa menjelaskan mekanisme penyakit dan penampakan fisik tersebut. Dalam hal orientasi seksual, apakah ada variasi gen tertentu yang berasosiasi atau malah menyebabkan munculnya orientasi seksual yang berbeda dari kelaziman. Kalau ada variasi gen bagaimana dengan pilihan manusia? Munculnya kanker sebagai akumulasi mutasi gen atau warna kulit karena variasi genetik tentu diluar ranah pilihan manusia. Dari sudut pandang Islam, aspek di luar pilihan manusia tidak akan dituntut hisab atau pertanggungjawaban di Akhirat.
-
Penyebaran Omicron dan anak2nya terbukti merepotkan banyak negara. Apa kabar vaksinasi COVID19, masihkah efektif, perlukah booster?
-
Menjelang Nataru sebagian merasa berdebar mendengar Omicron. Benarkah Omicron layak membuat kita berdebar? Simak obrolan seputar omicron bersama Bang Sandiaga Uno dan Pak Ahmad.
-
Vaksin COVID19 memiliki tujuan khusus dalam pengendalian pandemi. Vaksin belum tentu bisa memutus rantai penularan tetapi bisa menurunkan risiko gejala berat yang penting untuk menyelamatkan fasilitas kesehatan publik agar tidak kolaps
-
Upaya pengendalian COVID19 wajib melibatkan partisipasi rakyat semesta. Sayangnya protokol kesehatan (prokes) yang didengungkan kerap tidak sepenuhnya dimengerti oleh rakyat. Hal ini semakin rumit ketika sebagian ahli mengajarkan konsep yang justru bisa kontraproduktif dengan tujuan prokes untuk mengendalikan pandemi. Drh Indro Cahyono atau dikenal MIC memiliki gaya penyampaian yang menarik seperti yang kali ini Pak Ahmad bahas. Beliau menyebutkan air garam sebagai solusi untuk membersihkan hidung dan mulut dari menempelnya virus penyebab COVID19. Tapi apakah upaya pencucian hidung selaras dengan tujuan prokes? MIC (Indro Cahyono) memang memiliki pengalaman penelitian di bidang virus sehingga benar ahli virus disematkan ke beliau. Hanya saja dalam konteks pandemi ini, selayaknya ilmu yang beliau pahami juga selaras dengan upaya pengendalian pandemi itu sendiri. Jangan sampai ada perbedaan prokes rakyat alit vs rakyat elit. Prokes adalah upaya bersama agar kita semua baik alit dan elit bisa semua selamat dari pandemi. Mungkin kita juga perlu memahami mengapa suara dari MIC diterima luas dan seharusnya menjadi masukan bagi para elit.
-
Coba kita simak kata2 Bill Gates dalam acara TED Talk yang temanya inovasi apa yang diperlukan dalam mengurangi emisi karbon dioksida (CO2). Jumlah emisi CO2 yang muncul dikontribusi oleh populasi (P), jasa atau services untuk melayani populasi (S), energi yagn dikeluarkan per populasi, dan emisi CO2 itu sendiri per unit energi. Memang dengan bercanda, Bill Gates mengatakan kalau mau mudah ya salah satu dari faktor ini di nol kan saja supaya emisi CO2 bisa menjadi nol.
Apa iya seperti itu??
-
Kenapa susah meyakinkan masyarakat kalau COVID19 itu nyata?? Karena 80% yang terinfeksi virus tidak menunjukkan gejala berat, dan yang meninggal 'hanya' 2 dari 100. Kok bisa mayoritas tidak menunjukkan gejala, kita belum tahu persis, namun kita tahu bahwa virus penyebab COVID19 itu menyerang dua rongga nafas sekaligus yaitu rongga nafas atas (hidung, mulut, leher) dan rongga nafas bawah (paru).
Bedanya dengan virus flu yang hanya menyerang rongga nafas atas, atau SARS, Flu Burung, MERS yang menyerang rongga nafas bawah. Dampaknya apa? VIrus yang menyerang rongga nafas bawah saja sangat mudah dilacak tanpa tes, karena bisa dikenali dengan deteksi gejala saja. Dan angka kematian tinggi. Kematian akibat flu burung, SARS, dan MERS adalah 50-80%, 10%, dan 40%.
Beda sekali dengan SARSCoV2 penyebab COVID19 yang menyebabkan kematian 'hanya' 2%. Tidak heran apabila dianggap "Low Pathogenic" virus karena angka kematian tidak setinggi virus penyebab SARS, MERS, dan Flu burung. Namun yang perlu diingat adalah 20% mengalami gejala sedang hingga berat, dimana mereka ini perlu dirawat di fasilitas kesehatan. Meski 20% tidak terlihat besar persentasenya, ketika mereka hadir berbarengan di faskes, maka disitulah bencana dimulai, apalagi ketika faskes terbatas sehingga terancam kolaps.
-
Vaksinasi COVID19 di Indonesia memang mengalami banyak kendala, cakupan rendah dan lambat. Sementara penularan di komunitas nampaknya masih sulit dikendalikan oleh banyak faktor. Yaitu kombinasi antara perilaku manusia dari sisi penegakan aturan, kebijakan dan kerumunan.
Situasi diperburuk dengan munculnya varian dari SARSCoV2 coronavirus penyebab COVID19. Varian muncul sebagai akibat terjadinya mutasi di beberapa titik genom virus. Kombinasi tertentu membentuk Varian yang memiliki kemampuan unik seperti penularan yang lebih efektif. Sejauh ini varian yang muncul di dahului dengan penularan di komunitas.
Artinya ketika penularan tidak terkendali akan memberikan kesempatan bagi virus untuk memperbanyak diri. Maka dalam proses perbanyakan diri tersebut kemungkinna terjadinya 'salah ketik' oleh si virus tentu semakin besar ketika penularan juga masif.
Munculnya varian P1 di Brazil didahului kerumunan. Bagaimana dengan vaksin, apakah bisa memunculkan varian? Hingga saat ini data menunjukkan varian justru muncul SEBELUM vaksin diberikan. Dan hingga kini vaksin yang sudah ada seperti Pfizer, Astrazeneca, dan Sinovac nampaknya masih bisa mengurangi risiko gejala covid akibat varian alfa, delta, gamma meski dengan efikasi yang berbeda. Maka pilihan di depan mata kita perlu melakukan dua hal sekaligus, hentikan penularan di komunitas (kombinasi 5M dan 3T) serta perluas cakupan vaksinasi pada populasi berisiko.
Referensi
Kronologi munculnya varian P1 (Gamma) di Brazil yang didahului pembukaan kerumunan terlalu dini seperti dilakukannya pilkada Sabino, E., Buss, L., & Faria, N.R. (2021). Resurgence of COVID-19 in Manaus, Brazil, despite high seroprevalence. Lancet (London, England), 397, 452 - 455.
-
Vaksin COVID19 bertujuan utama untuk mengurangi kasus rakyat yang harus masuk rumah sakit. Dari 100 orang yang terinfeksi virus diperkirakan 14-20 orang perlu dirawat di RS untuk dibantu dengan oksigen. Maka apabila jumlah orang yang sakit bisa dikurangi separuh saja, itu akan sangat membantu beban rumah sakit dan para nakesnya untuk juga merawat pasien dengan penyakit lain.
Kita juga tahu bahwa orang dengan komorbid maupun tanpa komorbid memiliki kesempatan yagn sama untuk terpapar. Namun orang dengan komorbid memang lebih rentan mengalami gejala berat COVID19. Itu sebabnya orang dengan komorbid (diabetes, hipertensi, jantung, obesitas) adalah kelompok prioritas untuk mendapatkan vaksin.
Maka ketika Sang Profesor mengatakan bahw orang sakit jangan divaksin, maksudnya adalah ketika gejala akut muncul sebelum divaksin (seperti tekanan darah sedang tinggi) maka vaksinasi ditunda hingga tekanan darah terkontrol kembali.
Apakah orang dengan komorbid bisa memunculkan antibodi paska vaksin? Jawabannya bisa, meskipun tidak sebagus orang yang tidak memiliki komorbid, namun masih bisa terproteksi dari gejala berat, dibandingkan dengan mereka yagn tidak divaksin sama sekali.
Maka jangan membuat kesimpulan sendiri bahwa memiliki komorbid pasti tidak mendapat vaksin. Cek ke dokter setempat di puskesmas maupun rumah sakit.
Referensi Data dunia nyata dari Inggris bahwa vaksinasi Pfizer atau AstraZeneca pada mereka yang memiliki komorbid bisa mengurangi risiko terkena COVID gejala berat
Hyams, C., Marlow, R., Maseko, Z., King, J., Ward, L., Fox, K., Heath, R., Tuner, A., Friedrich, Z., Morrison, L., Ruffino, G., Antico, R., Adegbite, D., Szasz-Benczur, Z., Gonzalez, M.G., Oliver, J., Danon, L., & Finn, A. (2021). Effectiveness of BNT162b2 and ChAdOx1 nCoV-19 COVID-19 vaccination at preventing hospitalisations in people aged at least 80 years: a test-negative, case-control study. The Lancet Infectious Diseases.
Rangkuman data efektifitas vaksin pada komorbid dari beberapa negara termasuk Brazil dan Chile yang menggunakan vaksin Sinovac https://cdn.who.int/media/docs/default-source/immunization/sage/2021/april/5_sage29apr2021_critical-evidence_sinovac.pdf
- Se mer