Эпизоды
-
Sukarno dikenal sebagai salah satu Presiden Indonesia yang memiliki perhatian pada karya seni. Pada masanya, ia mengoleksi lukisan dan patung di Istana Negara. Tak hanya itu, ia juga memperkenalkan ragam kesenian lain, seperti mozaik keramik, mural, dan relief. Relief pada era Sukarno memiliki kedudukan yang unik, ia diciptakan untuk mencerminkan semangat Indonesia yang baru. Relief hadir di konteks ruang publik yang cukup spesifik, seperti di hotel, ruang VIP bandara, dan di pusat perbelanjaan. Seiring berjalannya waktu, beberapa relief tersebut terbengkalai. Bersama moderator Ibrahim Soetomo dan narasumber Asikin Hasan dan Bambang Eryudhawan, Siniar Salihara hadir dengan perbincangan “Ngomong-ngomong Soal: Relief Era Bung Karno”.
Ikuti terus Siniar Salihara untuk mendengarkan episode terbaru musim ini. Program ini didukung oleh Pemerintah Provinsi DKI jakarta melalui Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Hubungan antara teknologi digital dengan seni rupa sebetulnya bukanlah hal yang baru. Hubungan tersebut juga tidak lepas dari beberapa aspek yang memengaruhi pemutakhiran teknologi dalam kehidupan sehari-hari kita. Melalui prinsip kerja ini dan semakin canggihnya teknologi digital yang bisa kita gunakan untuk mencipta atau mengapresiasi, adakah perubahan dalam cara kita memandang seni? Dan bagaimana relasi antara seniman, teknologi, karya, dan audiensnya? Dalam episode terakhir Siniar Salihara musim keempat, Rebecca Kezia bersama narasumber Bob Edrian akan membahas hubungan antara teknologi digital dengan seni rupa dalam “Ngomong-ngomong Soal: Imajinasi, Manipulasi dan Ilusi dalam Rupa Digital”.
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Пропущенные эпизоды?
-
Hampir semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh teknologi digital serta mengubah cara bertindak dan cara berinteraksi kita dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, pengaruh teknologi digital masuk dalam salah satu cabang ilmu pengetahuan yaitu humaniora, yang mempertanyakan kembali tentang manusia dan sekitarnya. Tapi, bagaimana posisi manusia ketika teknologi digital telah masuk dalam ilmu humaniora? Apakah ada yang berubah dan apakah perubahan ini memperkaya cara pandang kita dalam memaknai kehidupan? Bersama host Rebecca Kezia dan narasumber Fadjar Ibnu Thufail akan membahasnya dalam Siniar Salihara musim keempat episode pertama: “Ngomong-ngomong soal: Reformasi Ilmu dalam Budaya Digital”.
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Sastra sebagai salah satu cabang penciptaan sebuah kesenian yang lekat dengan unsur kepengarangan seperti adanya konteks, sejarah, dan bentuk bahasa yang menjadi ekspresi pengarangnya, kini telah dimasuki oleh sesuatu yang lebih objektif melalui kerja teknologi digital seperti adanya perangkat kecerdasan atau AI. Namun, apa sebetulnya yang hendak ditawarkan melalui usaha atau eksperimen ini? Apakah hal ini dapat memperkaya pembacaan kita dalam mengapresiasi karya sastra? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas pada Siniar Salihara musim keempat episode kedua bersama Rebecca Kezia dan narasumber Martin Suryajaya dalam “Ngomong-Ngomong Soal: Puitika Mesin: Pedang Bermata Dua”.
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Toeti Heraty adalah penyair perempuan yang mulai muncul pada awal 1960-an. Ia pembelajar sekaligus doktor filsafat. Toeti juga menyatakan pemikirannya dalam tulisan-tulisan non-fiksi dan ia pun mendirikan "Jurnal Perempuan" dan jurnal budaya dan filsafat "Mitra". Jika para penyair laki-laki sebelumnya kelewat banyak mengandalkan keharuan dan ilham dalam penulisan puisi, pada puisi Toeti Heraty mulai muncul siasat untuk membunyikan perenungan atau meditasi intelektual, yang kemudian membuat puisi-puisinya terasa lebih diskursif daripada liris dan dipenuhi pernyataan feminisme. Bersama host Ibrahim Soetomo dan narasumber Avianti Armand, Siniar Salihara musim ketiga hadir dengan “Ngomong-Ngomong Soal Toeti Heraty: Manifesto, Filsafat, dan Puisi”.
Musim ketiga Siniar Salihara hadir dengan topik "Perempuan Penulis". Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Siti Rukiah atau S. Rukiah aktif menulis pada masa Kemerdekaan hingga 1965. Ia menulis puisi, cerpen, novel dan cerita anak-anak. Di luar pekerjaannya sebagai seorang penulis, Rukiah adalah seorang guru, redaktur dan aktivis politik, ia juga bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi salah satu elite pemimpinnya. Prosa-prosanya menampilkan kembali korban revolusi di kalangan rakyat jelata yang tidak berdosa, sebagaimana ditampilkan dalam Tandus (1952). Seperti apa kiprah dan karya-karya S. Rukiah? Ibrahim Soetomo bersama Dewi Kharisma Michellia akan mengurainya dalam “Ngomong-Ngomong Soal Rukiah: Yang Menuai di Ladang Tandus”.
Musim ketiga Siniar Salihara hadir dengan topik "Perempuan Penulis". Episode terbaru hadir setiap Senin. Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Saadah Alim adalah salah satu penulis perempuan yang menyuarakan penentangannya pada tradisi poligami dan kawin karena perjodohan dalam budaya Minangkabau. Ia mengajukan pemikiran tentang perlunya kebebasan bagi perempuan dalam menentukan hidupnya, baik dalam rumah tangga maupun dunia kerja. Melalui lakon "Pembalasannya" (1940) dan kumpulan cerita pendek "Taman Penghibur Hati" (1941), Saadah menyajikan cerita-cerita psikologis yang memberikan perspektif baru dalam budaya Minangkabau saat itu. Ikuti perbincangan tentang Saadah Alim dan karya-karyanya bersama Ibrahim Soetomo dan narasumber Aura Asmarandana dalam “Ngomong-Ngomong Soal Saadah Alim: Perlawanan Dan Kepatuhan”.
Musim ketiga Siniar Salihara hadir dengan topik "Perempuan Penulis". Episode terbaru hadir setiap Senin.
-
Soewarsih Djojopuspito menulis roman pertama dalam bahasa Belanda berjudul “Buiten het Garrel” yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Manusia Bebas”. Pada masa 1930-an, Soewarsih tak hanya aktif dalam aktivitas sebagai penulis, ia juga aktif dalam pergerakan. Roman “Manusia Bebas” disebut sebagai “dokumentasi zaman pergerakan” yang memberikan kita semacam potret tajam tentang bagaimana kaum pergerakan nasional bertumbuh. Bersama Ibrahim Soetomo dan narasumber Dhianita Kusuma Pertiwi, Siniar Salihara musim ketiga hadir dengan “Ngomong-ngomong soal: Soewarsih Dan Dilema Kaum Pergerakan”.
Episode terbaru Siniar Salihara musim ketiga hadir setiap Senin. Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Chairil Anwar kerap menulis puisi dengan judul yang berhubungan dengan laut, di antaranya puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Cintaku Jauh di Pulau”, dan “Kabar dari Laut”. Chairil seperti sedang menggambarkan bagaimana pengalamannya terhadap suasana laut. Apakah Chairil menuangkan pengalamannya terhadap laut pada puisinya? Dan bagaimana motif laut dari sisi Chairil? Ibrahim Soetomo bersama Dewi Anggraeni akan membahas puisi Chairil dan laut dalam “Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil Anwar”.
Siniar ini adalah bagian dari acara “Seratus Tahun Chairil Anwar” yang akan dilaksanakan pada 27-30 Oktober 2022 di Komunitas Salihara. Informasi tentang acara ini, kunjungi www.salihara.org.
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
..Puisi Chairil Anwar menuliskan bagaimana suasana urban yang ditulis pada zamannya, namun rasanya justru sangat relevan dengan kondisi sekarang. Chairil mengelaborasi hal-hal sehari-hari ke dalam puisinya dan memberikan gambaran hidup yang nyata bagi pembacanya. Lantas kenapa Chairil memilih untuk menuliskannya menjadi puisi? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Hamzah Muhammad dalam “Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil Anwar”.
Siniar ini adalah bagian dari acara “Seratus Tahun Chairil Anwar” yang akan dilaksanakan pada 27-30 Oktober 2022 di Komunitas Salihara. Informasi selengkapnya kunjungi www.salihara.org
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Karya Chairil Anwar kerap jadi salah satu contoh puisi Indonesia yang muncul pada pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah, salah satunya puisi “Aku”. Sajak Chairil juga seringkali memberi pengaruh kepada pembacanya. Putri Minangsari seorang penari Bali dan penulis, membagikan bagaimana pengalaman pertamanya membaca puisi Chairil. Bersama host Ibrahim Soetomo dalam musim kedua Siniar Salihara “Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil Anwar”.
Siniar ini adalah bagian dari acara “Seratus Tahun Chairil Anwar” yang akan dilaksanakan pada 27-30 Oktober 2022 di Komunitas Salihara. -
Dominasi Jakarta sebagai pusat produksi dan distribusi karya sastra Indonesia bisa ditelusuri hingga masa awal abad ke-20—atau lebih awal dari itu. Muncul hiruk-pikuk perlawanan terhadap dominasi Jakarta dalam sastra Indonesia. Misalnya pada 1990-an muncul gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman” (RSP) yang berpusat di Ngawi, Jawa Timur. Namun baik pula jika kita menilai secara kritis perlawanan tersebut. Apakah dominasi Jakarta sebagai pusat akan tetap menyala? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Melani Budianta dalam "Ngomong-ngomong Soal: Jakarta yang Bikin Keki".
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Perdebatan tentang pascamodernisme di Indonesia baru berlangsung sepanjang tahun 1993-1994, namun situasi yang melatarinya bisa kita lacak dari tahun 1980-an ketika Orde Baru begitu kuat. Ada banyak reaksi atas munculnya paham pascamodernisme, mulai dari yang mendukung sampai yang menolak. Lantas apa dan bagaimana sesungguhnya pascamodernisme ini, terutama di Indonesia? Apa kaitan pemikiran pascamodernisme dengan situasi sosial-politik Orde Baru saat itu? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Akhmad Sahal dalam "Ngomong-ngomong Soal: Demam Pascamodernisme Dan Senjakala Orde Baru".
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Dalam sebuah acara bertajuk “Sarasehan Kesenian 1984” yang digelar di Solo, 28-29 Oktober 1984, Arief Budiman dan Ariel Heryanto mencetuskan pemikiran seputar “Sastra Kontekstual” yang kemudian menimbulkan beragam tanggapan. Mereka mengusung pemikiran sastra yang lebih terlibat, lebih kontekstual, terkait situasi dan lingkungan masyarakat Indonesia. Seperti apa keterlibatan sastra Indonesia dalam persoalan-persoalan masyarakat? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Manneke Budiman dalam "Ngomong-ngomong Soal: Kenapa Sastra Harus Kontekstual?"
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Beberapa wacana dalam penulisan kritik ramai dibicarakan di kalangan sastrawan. Pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1980, dua wacana penting tentang pandangan kritik pun muncul, dari “Aliran Ganzheit” dan “Aliran Rawamangun”. Seperti apa wacana dalam kritik menurut Ganzheit maupun Rawamangun? Apa pengaruh dari keduanya bagi lapangan penelitian sastra maupun kreativitas sastra? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Arif Bagus Prasetyo tentang salah satu polemik penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
Musik oleh Sri Hanuraga
-
Pertentangan ideologi antara seniman Lekra dan Manifes Kebudayaan memanas sepanjang dasawarsa 1950 sampai 1960-an. Ada kecurigaan bahwa pembahasan Manifes Kebudayaan dan Lekra, sebenarnya terlalu sempit dan diarahkan hanya sebatas komunis dan anti komunis. Kenapa polemik ini terjadi? Apa sebenarnya cikal bakal perseteruan di antara keduanya dan siapa saja yang terlibat? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Zen Hae dalam "Ngomong-Ngomong Soal Polemik Kebudayaan: Belok Kiri Turun ke Bawah".
Musik oleh Sri Hanuraga.
-
Silang pendapat dalam menentukan orientasi kebudayaan Indonesia bisa dilihat sebagai satu cetusan angkatan 𝘗𝘰𝘦𝘥𝘫𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘉𝘢𝘳𝘰𝘦. Sutan Takdir Alisjahbana hadir dengan pandangan Barat dan Sanusi Pane hadir dengan pandangan Timur. Masih pentingkah membayangkan Indonesia yang melihat ke barat atau timur? Adakah temuan Indonesia yang seutuhnya hari ini? Ikuti perbincangan Ibrahim Soetomo dan Nirwan Dewanto tentang salah satu polemik penting dalam sejarah pemikiran di Indonesia.
Musik oleh Sri Hanuraga
-
Di masa mudanya, Goenawan Mohamad suka mendengarkan musik bernuansa jazz. Salah satunya adalah Billie Holiday, pelantun lagu mengenai persekusi yang dialami oleh masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat. Apa pengaruhnya ke sajak-sajak Goenawan Mohamad? Ayu Utami dan Yulius Tandyanto akan berbincang tentang kegemaran musik dan pengaruhnya ke dalam karya-karya Goenawan Mohamad. Di ‘podcast’ ini kita juga bisa mendengar musikalisasi puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” dan “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Mohamad.
Podcast ini adalah bagian dari acara Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad yang akan dilaksanakan pada 25-27 Maret 2022. Informasi selengkapnya kunjungi www.tiket.salihara.org
-
GM muda memilih kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia karena, pada masanya, itu satu-satunya yang menyediakan mata kuliah filsafat (dengan dosen Romo Driyarkara, SJ). Sejak muda, GM punya kecenderungan pada filsafat tertentu, yaitu yang mengutamakan pengalaman ketimbang rumusan. Bagaimana itu muncul dalam karyanya?
Podcast ini adalah bagian dari acara "Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad" yang akan dilaksanakan pada 25-27 Maret 2022. Informasi selengkapnya kunjungi www.tiket.salihara.org
-
Bagi generasi Ayu dan Yulius, jasa GM adalah membawa sastra ke dalam jurnalisme. Pada masa itu, pers masih berpretensi untuk obyektif, meliput kedua pihak dan berjarak. Sambil mempertahankan kode etik pers, GM berhasil memasukkan pengalaman subyektif dan kedalaman perenungan, terutama melalui Catatan Pinggir. Bagaimana “Caping” menginspirasi generasi Ayu dan Yulius?
Podcast ini adalah bagian dari acara "Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad" yang akan dilaksanakan pada 25-27 Maret 2022. Informasi selengkapnya kunjungi www.tiket.salihara.org
- Показать больше