Folgen
-
Kepergian sutradara, penulis, bibliofil Richard Oh meninggalkan lubang besar di komunitas sastra dan film. Podcast @cominghome beberapa kali mengundang Richard sebagai narasumber karena dia adalah satu dari sedikit yang sudah banyak membaca buku-buku sastra internasional maupun Indonesia. Namun Kusala Sastra Khatulistiwa adalah salah satu warisan Richard yang penting. Podcast ini pernah membahasnya dengan dua penghargaan sastra lainnya yaitu Penghargaan Badan Bahasa dan Buku Sastra Pilihan Tempo. Bersama F.Rahardi dan Nurdin Kalim sebagai wakil dari kedua institusi tadi, Richard Oh membahas bagaimana dia membangun Khatulistiwa Literary Award dan mencoba memperbaikinya setiap tahun. Kami menayangkannya kembali sebagai penghormatan kepadanya.
-
Setelah gebrakan duo Jodi Kantor dan Megan Twohey melalui buku “She Said” yang berisi investigasi tentang produser Harvey Weinstein , pada tahun yang sama wartawan Ronan Farrow megeluarkan bukunya berjudul “Catch and Kill, Lies, Spies and a Conspiracy to Protect Predators” (Littlebrown, 2019). Keduanya sama-sama mengisahkan produser Harvey Weinstein yang puluhan tahun menyalahgunakan kekuasaannya kepada para aktris dan karyawan yang bekerja sama dengannya.
Weinstein sendiri kini akhirnya sudah divonis 23 tahun penjara untuk dua dari lima kasus yang diajukannya. Kedua buku ini yang semula dimuat secara serial di media salah satu yang mengguncang #metoomovement di Amerika, yang kemudian merebak ke berbagai negara.
Buku “Catch and Kill, Lies, Spies and a Conspiracy to Protect Predators” karya Ronan Farrow ditulis dengan gaya naratif bak sebuah film thriller, karena Ronan Farrow mendeskripsikan bagaimana produsernya di NBC menelepon dan menyampaikan bahwa laporannya dengan tema kekerasan seksual ‘ditunda’ penayangannya. Setebal 448 halaman, buku yang disusun dengan menggunakan metode jurnalistik investigasi ini akan dibahas oleh Aktivis Perempuan Tunggal Pawestri. Tunggal akan membahas buku ini sekaligus menjelaskan definisi kekerasan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan? Kapankah kita mengetahui atau merasa ada sesuatu yang salah atau tidak patut dalam berkomunikasi –offline atau online—dengan seseorang?
-
Fehlende Folgen?
-
“SUKARNO: Paradoks Revolusi Indonesia”
Seri Buku Tempo, Bapak Bangsa
“Sukarno tidak dimakamkan ‘di antara bukit yang berombak, di bawah pohon rindang, di samping sebuah sungai dengan udara segar.” Tidak seperti diinginkannya. Permintaan terakhirnya untuk dikuburkan di halaman rumahnya di Batutulis, Bogor, ditolak. Propspek bahwa makamnya akan menjadi tempat ziarah yang populer yang terlalu dekat dengan Jakarta merisaukan pemerintah baru….”
(“Sukarno, Paradoks Revolusi Indonesia” – hal 2).
Demikian pembukaan buku ini mengisahkan ‘rumah terakhir’ presiden pertama Indonesia dan bahkan jasad Bung Karno pun masih membuat gentar pemerintah Orde Baru. Nama Sukarno tetap dikenang oleh bangsa Indonesia dan dunia. Sukarno, bersama Hatta, akan menjadi simbol revolusi Indonesia. Kali ini @penerbitkpg menerbitkan ulang buku “Sukarno” yang merupakan kerjasama dengan @majalah.tempo
Karena buku-buku seri Tempo ini dikerjakan sebagai Edisi Khusus Tempo, maka tentu saja penulisannya menggunakan pendekatan jurnalistik, bukan sejarah. Selain sekilas jejak langkah sang proklamator yang sering disebut sebagai Putra Sang Fajar, buku ini juga menampilkan berbagai kisah keseharian Bung Karno hingga kisah cintanya yang selalu saja menarik. Tak lupa kisah anak-anak Bung Karno, terutama Megawati yang kelak menjadi Presiden Indonesia.
Kali ini program podcast “Coming Home with Leila Chudori” season 8 mengundang jurnalis Hermien Y. Kleden. Bersama-sama host Leila Chudori yang juga terlibat dalam proyek Edisi Khusus ini, Hermien Kleden akan berdiskusi dan membahas tantangan dan asyiknya membangun dan menciptakan tradisi baru di Tempo pasca bredel: Edisi Khusus. Sukarno menjadi pilihan pertama penulisan edisi khusus bertopik di masa itu. Hermien sebagai salah satu Pimpinan Proyek akan menceritakan mengapa para bapak bangsa menjadi pilihan awal dari serial ini. Selamat mendengarkan.
-
“Suatu pagi hari Minggu, ketika para hewan berkumpul untuk meneria perintah mingguan, Napoleon mengumumkan kebijaksanaan baru. Mulai saat itu ke depan, Pertanian Hewan akan melakukan hubungan perdagangan dengan pertanian tetangga. Bukan untuk maksud komersial, tentu saja, tetapi hanya agar bisa mendapatkan barang-barang tertentu yang sangat dibutuhkan…..”
( Republik Hewan, George Orwell)
Ini adalah terjemahan novel legendaris George Orwell “Animal Farm” ke dalam bahasa Indonesia oleh Djokolelono yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Novel yang diterbitkan pertama kali tanggal 17 Agustus 1945, “Animal Farm” –atau dalam bahasa Indonesia berjudul “Republik Hewan” --- adalah sebuah novel satiris alegori yang berkisah tentang sekelompok binatang milik Tuan Jones si pemabuk berat. Suatu hari dia lupa memberi makanan para binatang , maka terjadilah pemberontakan di bawah pimpinan anggota geng binatang bernama Napoleon dan Snowball. Para binatang berharap di bawah pimpinan baru maka akan tercipta masyarakat yang memiliki hal yang sama, demokratis dan bahagia. Ternyata, tentu saja dalam setiap perjuangan atau perubahan, selalu akan ada pengkhianatan. Segala perjuangan sia-sia karena pada akhirnya Republik Hewan di bawah pimpinan Napoleon sama buruknya dengan masa pemerintahan manusia.
Animal Farm atau REPUBLIK HEWAN yang menurut Orwell terinspirasi di masa-masa panasnya Soviet menjelang Revolusi 1917 ini adalah sebuah novel yang universal dan termasuk dalam 100 buku dalam bahasa Inggris versi majalah Time. Episode terbaru Program podcast “Coming Home with Leila Chudori" Musim Tayang 8 kini mengundang Rocky Gerung untuk membahas novel klasik ini.
-
“Rendra tak pernah mati: ia telah memberi kita puisi.”
Demikian Goenawan Mohamad mencatatnya sebagai seorang penyair untuk penyair, dalam “Rendra (1935-…)” . Ini salah satu tulisan Goenawan di antara 23 tulisan tentang tokoh-tokoh politik dan kesenian yang dihimpun dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia , bekerja sama dengan Freedom Institute dan Komunitas Salihara, 2021, dengan judul “Pembentuk Sejarah”. Disusun oleh empat orang: Zaim Rofiqi, Candra Gautama, Akhmad Sahal dan Rustam F.Mandayun, buku ini menguraikan renungan, ulasan, pendapat Goenawan tentang pemikiran tokoh-tokoh antara lain Bung Karno, Tan Malaka, Kartini, Gus Dur, Nurcholis Madjid, hingga sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, Rendra dan Subagio Sastrowardoyo. Diambil dari berbagai sumber dan buku karya Goenawan ini , seperti diutarakan dalam Kata Pengantar Akhmad Sahal , bernada “penolakannya terhadap pemutlakan ide atau pikiran, entah dalam bentuk ideologi, utopianiasme, dogma agama, saintisme bahkan juga kategori-kategori konseptual yang mengklaim kepastian.”
Program podcast “Coming Home with Leila Chudori” Musim Tayang ke 8 Episode 2 kali ini mengundang CEO Tempo Media Arif Zulkifli yang akan membahas kumpulan esei Goenawan Mohamad ini dari berbagai segi.
-
BERSAMA : DEE LESTARI DAN PETTY FATIMAH
Ini adalah kisah Ping, remaja dengan anugerah musik di dalam dirinya yang nyaris sempurna. Yang telinga & suaranya bisa menyatukan harmoni musik dengan alat apapun dan memiliki pendengar sedemikian tajamnya. Ia mampu mendengar suara sehalus apapun yang tak tertangkap oleh ‘telinga biasa’.
Ping, yang nama aslinya adalah Lovinka, hidup bersama kakek Yuda Alexander di sebuah desa nun di Pangandaraan. Tetapi suatu hari, kehidupannya mendadak harus berubah. Sang kakek terpaksa menyerah pada gerogotan kanker. Lalu siapa yang akan mengurus dan membesarkan sang cucu? Yuda menyerahkan pada seseorang yang sudah lama ‘berhutang’ padanya & terutama pada Ping: Guntur Putra Sasmita, Walikota Jakarta Selatan yang mempersiapkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Begitu saja Ping harus pindah ke Jakarta sebagai anak asuh pak Guntur, dicemplungkan ke sebuah sekolah, menghadapi berbagai tingkah anak kaya raya Jakarta di sebuah SMA elite Jakarta. Ping bukan saja terkejut dengan gaya hidup mereka, tetapi pada saat yang bersamaan, Ping mendapatkan kesempatan bergabung dengan band SMA: Rapijali.
Sekali lagi, Dee Lestari mengajak pembaca menyusuri kehidupan dan kegalauan remaja dengan segala seluk beluk batin Ping, Rakai, Jemima, Buto, Inggil, Lodeh yang masing-masing menyandang persoalan keluarga. Yang sungguh memukau adalah bagaimana kita bisa menikmati lagu-lagu yang dinyanyikan band Rapijali melalui ketiga buku ini dan serangkaian lagu-lagu ciptaan Dee--dinyanyikan antara lain oleh Iwan Fals, Bunga Citra Lestari-- mengisi ruh para tokoh-tokohnya.
Program podcast “Coming Home with Leila Chudori” membuka Musim Tayang ke 8 dengan obrolan asyik bersama Pemimpin Redaksi Femina @petz09 . Sang Penulis Dee Lestari @deelestari tentu saja akan bergabung dengan kami untuk menunaikan segala rasa penasaran kami: tentang mengapa 27 tahun cerita ini disimpan & baru dikeluarkan sekarang.
-
“Troubled Blood” (Kecamuk Darah) oleh Roberth Galbraith
Ketika Detektif Partikelir Cormoran Strike tengah berkunjung ke kampung halamannya di Cornwall, seorang perempuan meminta tolong Strike untuk mencari ibunya Margot Bamborough yang menghilang secara misterius tahun 1974 silam.
Mengulik kasus yang sudah ‘dingin’ dan terlupakan bukanlah sesuatu yang mudah. Namun detektif kita memutuskan mengendus jejak yang berusia 40 tahun itu didampingi partnernya Robin Ellacot yang dilanda perceraian yang kacau dan berantakan.
Novel setebal 933 halaman ini sudah diterjemahkan oleh Siska Yuanita (Gramedia Pustaka Utama, 2021) menjadi “Kecamuk Darah”), karena itu program podcast “Coming Home with Leila Chudori” edisi penutup season 7 akan mengundang Siska untuk berbincang tentang isi novel yang sempat melahirkan kontroversi ini; juga bagaimana Siska menerjemahkan novel setebal bantal itu menjadi “Kecamuk Darah” yang asyik sekali seperti halaman pembuka: “The Victory Inn penuh sesak pada malam bulan Agustus yang hangat ini, sehingga para pengunjung meluber keluar, ke undak-undakan batu lebar yang menurun ke pantai…”.
Episode penutup musim tayang ke 7 ini akan membahas petualangan duo Cormoran Strike dan Robin Ellacot dalam labirin kasus yang sudah berusia 40 tahun yang dituangkan dalam novel setebal 900 halaman ini. Selamat mendengarkan
-
FEAT DIAN SASTROWARDOYO DAN JOKO ANWAR
“Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi”
Inilah sebuah pembukaan novel berjudul “Rafilus”, salah satu karya Budi Darma yang pertama kali diterbitkan Balai Pustaka tahun 1988. Seperti juga karya-karya sebelumnya kumpulan cerpen “Orang-orang Bloomington” (1981) dan “Olenka” (1983), novel Rafilus adalah salah satu prosa Budi Darma yang menjungkir balikkan dunia. Tetapi kelebihan dari berbagai ceritanya, Budi Darma si pencerita ulung ini selalu menampilkan tokoh-tokoh utama atau tokoh pendukung yang tak mudah hilang dari benaknya.
Olenka, Fanton Drummond, Kritikus Adinan, Yorrick, Orez, Ny Eberhart, Ny. Talis. Begitu banyak tokoh, begitu banyak cerita dalam karya-karya Budi Darma, begitu banyak pujian dan penghargaan, termasuk Sea Write Awards (1984) untuk berbagai hal yang baru di dalam sastra Indonesia.
Lahir di Rembang tahun 1937 dan wafat Agustus tahun ini, Budi Darma mengabdikan hidupnya dalam dunia akademis dan sastra. Karya-karyanya yang terkemuka selain fiksi seperti Orang-orang Bloomington ,Olenka, Rafilus dan Nyonya Talis, ada beberapa kumpulan eseinya antara lain “Solilokui” yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dan juga “Harmonium”.
Podcast “Coming Home with Leila Chudori” berjudul “In Memoriam Budi Darma” akan menampilkan cuplikan dua karya Budi Darma, yakni novel “Olenka” dan “Orang-orang Bloomington” yang keduanya diterbitkan ulang oleh Noura, kelompok penerbit Mizan. Cuplikan karya-karya Budi Darma ini akan dibacakan oleh sutradara Joko Anwar dan aktris Dian Sastrowardoyo.
-
Seorang penulis bestseller Kunikihiko Hidaka ditemukan tewas terbunuh di rumahnya tepat sehari sebelum keberangkatannya untuk pindah ke Kanada. Kematiannya juga menggemparkan dunia industri buku, karena novel terbarunya baru saja selesai dan akan meluncur. Detektif kesayangan kita Kyochiro Kaga menyelidiki dan mengendus beberapa calon tersangka, salah satunya adalah kawan dekat Hidaka, seorang penulis buku anak Osamu Nonoguchi yang memang cemburu atas kesuksesan Hidaka. Inilah yang kita temukan dalam novel “Malice” karya Keigo Higashino (Gramedia Pustaka Utama). Selain menguak dunia industri buku yang seru dan penuh kecemburuan, seperti biasa gaya detektif Keigo yang santai sekaligus tajam dan cerdas ini membuat kita sulit melepas buku ini hingga halaman terakhir.
Kali ini program podcast @cominghomepodcast with Leila Chudori mengundang Pemimpin Redaksi Femina @petz09 Petty Fatimah mengulik novel ‘whoduunit’ ini dan membandingkannya dengan karya Hidaka lainnya.
-
Tengoklah market place. Dan perhatikan novel-novel yang Anda ingin beli ternyata berharga sangat murah sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu, meski harga resmi di toko buku atau toko buku online resmi novel tersebut berharga Rp 80 ribu. Buku-buku yang berpenampilan buruk karena isinya adalah hasil fotokopi dengan sampul wajah yang hasil fotokopi warna adalah hasil bajakan.
Dan percayakah Anda bahwa pembajakan di Indonesia sudah seperti industri hingga para pelakunya sudah sampai hidup makmur kaya raya dan bisa membeli beberapa rumah? Tak percaya? Coba tengok kisah bagaimana polisi menangkap pembajak buku di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Tetapi ini bukan saja soal ekonomi, industri pembajakan buku ini menunjukkan betapa kita masih jauh dari peradaban di mana hak cipta seharusnya dihargai sebagai sesuatu yang melekat pada pencipta.
Membajak atau membeli benda bajakan artinya Anda ikut mencuri hak ekonomi penulis, penerbit, ilustrator dan seluruh tim yang bekerja untuk buku yang anda beli. Dan ini penyakit ganas yang menyerupai kanker di dalam kehidupan perbukuan Indonesia.
Kali ini podcast “Coming Home with Leila Chudori” musim tayang 7 akan membahas masalah pembajakan dan bagaimana para penerbit mencoba untuk menghadapinya. Dua narasumber podcast kali ini adalah Wandi Brata, Direktur grup penerbitan Gramedia dan Haidar Bagir, Direktur Utama Mizan Grup. Mereka memberikan banyak informasi baru yang mencengangkan dari dunia buku bajakan yang sayangnya belum menjadi perhatian penting bagi pemerintah.
-
Mereka yang mengalami masa kanak-kanak di tahun 1970-an dan 1980-an pasti pernah mengalami “Djoko Lelono Syndrome”. Dia adalah penulis kanak-kanak yang melahirkan puluhan novel-novel kanak-kanak seperti “Genderang Perang Dari Wamena” (1970), Terlontar ke Masa Silam (1971), “Rahasia di Balik Lukisan” dan juga beberapa fiksi-ilmiah dan serial yang menampilkan tokoh anak-anak seperti serial Astrid.
Salah satu kekuatan Djoko Lelono (77 tahun) adalah serunya petualangan tokoh utama, yang sudah pasti adalah anak SD atau SMP, yang diceritakan tanpa pidato, tanpa nasehat. Djoko Lelono tetap memberikan cerita si baik dan si jahat dengan subtil. Novel “Rahasia di Balik Lukisan” ,misalnya adalah kisah seorang anak pelukis terkemuka yang ‘mengunjungi’ lukisan ayahnya satu persatu dan berbincang dengan ‘orang-orang’ di dalam lukisan itu. Sang anak –bak detektif kecil—melakukan pengumpulan informasi tentang rahasia yang terjadi pada masterpiece karya ayahnya.
Di abad 21, penulis anak-anak tetap tumbuh subur, meski tantangannya kini bagi para penulis fiksi anak adalah: saingan yang lebih riuh seperti gadget, game dan segala yang modern. Rizal Iwan (43 tahun), yang semula lebih sering menulis fiksi untuk orang dewasa memutuskan untuk menulis cerita anak-anak. Buku serial “Creepy Case Club” (Kepustakaan Populer Gramedia,2021) dan tokoh utama Namira yang unik sekali kini sudah berjumlah empat judul. Keempat buku yang seru menceritakan petualangan Namira dan kawan-kawannya disambut gempita oleh para pembaca kecilnya.
Program Podcast “Coming Home with Leila Chudori” mengundang kedua penulis buku anak-anak ini untuk berbincang tentang penulisan buku anak-anak, dan bagaimana tantangannya untuk menulis tanpa menjadi pedantik. Ikuti pembahasan seru ini dan bagaimana pentingnya memupuk kecintaan anak-anak kita pada dunia imajinasi.
-
“Malam itu A tidak bisa tidur. Di depannya selalu kelihatan bayangan-bayangan mayat bergelimpangan. Beratus ribu mayat bergelimpangan. Beratus ribu mayat……”
Demikian Gerson Poyk memulai cerita pendek “Perempuan dan Anak-anaknya” . Buku antologi cerpen ini terdiri dari 12 cerpen yang pernah terbit di majalah Horison dan Sastra pada 1966-1970. Para penulisnya antara lain adalah Gerson Pork, Satyagraha Hoerip, Umar Kayam, Martin Aleida dan Ki Panji Kusmin. Ada persamaan cara berpikir para penulis di dalam cerpen-cerpen ini, misalnya rasa bersalah karena ikut menyiksa korban; atau ada juga kisah seorang putri priyayi cerdas yang akhirnya hilang tak ketahuan rimbanya di tahun 1965; ada kebimbangan seorang tokoh karena harus meyerahkan iparnya sendiri pada para pembantai.
Antologi yang disunting oleh Yoseph Yapi Taum dan Antonius Sumarwan ,SJ diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia untuk memperlihatkan bagaimana cara berpikir para penulis di masanya. Episode awal dari musim tayang ke 7 podcast Coming Home with Leila Chudori kali ini mengundang Robertus Robet, dosen Universitas Negeri Jakarta untuk membahas : apa benang merah dari 12 cerpen ini selain bertema tragedi 1965; apa yang disebut dengan ‘histeria kekerasan’ dan mengapa penulis di masanya mempunyai psikologi yang berbeda dengan para penulis generasi berikutnya.
-
Perkenalkan Detektif Kyoichiro Kaga. Ia seorang detektif ciptaan Keigo Higashino. Di dalam novel "Newcomer" (dalam bahasa Indonesia menjadi "Pembunuhan Nihonbashi", Gramedia Pustaka Utama), detektif Kaga baru saja ditugaskan ke kantor polisi di area Nihonbashi, Tokyo. Kaga langsung terjun melakukan investigasi kematian Mineko Mitsui, seorang perempuan berusia 45 tahun, yang tewas dicekik di apartemennya. Para tetangga tak terlalu mengenal Mineko Mitusui kecuali dia bekerja sebagai seorang penerjemah.
Penulis Keigo Higashino (dikenal di Indonesia dengan novel “Keajaiban Toko Kelontong Namiya” ) menciptakan detektif Kaga sebagai seorang lelaki berpenampilan biasa saja, yang tidak ‘aneh’ dan tidak unik seperti Hercule Poirot, tidak gelap seperti Sherlock Homes. Dia lelaki yang bertanya dengan ramah lembut kepada semua tetangga dan pemilik toko-toko tetangga korban yang berpotensi sebagai tersangka. Pendekatan Deketif Kaga untuk mencari jejak sang pembunuh justru dengan memperlakukan saksi sebagai manusia biasa. Adegan-adegan yang digambarkan terasa alamiah seperti kisah ‘slice of life’ yang mengandung misteri.
Untuk episode penutup Coming Home with Leila Chudori musim tayang 6 ini, kami mengundang Pemimpin Redaksi Femina Petty Fatimah yang akan membahas novel ini habis-habisan.
-
MEMBAHAS NOVEL “Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga”
“Suatu petang pada 1950, ketika suara jangkrik mulai meninggi di dalam hutan, Markeba Tikore ditemukan sudah tiada, tubuhnya tergantung dengan lilitan kain di pohon cengkih, hanya dua pelemparan batu dari rumah kebun mereka…..”
Demikian Erni Aladjai membuka novel terbarunya berjudul “Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga” . Novel ini bercerita tentang sepasang ibu dan sang anak yang menetap di desa Kon, sebuah kampung petani cengkeh. Ibu dan anak ini tinggal di rumah warisan keluarga mereka yang dijuluki Teteruga. Rumah tua yang berusia 109 tahun itu menyimpan misteri.
Di desa Kon, cengkih mempunyai sejarah dan banyak cerita tersendiri di desa Kon. Cerita desa Kon terungkap saat Ala bertemu dengan Ido. Ada lagi cerita misteri si lelaki tua Naf Tikore yang diduga berilmu hitam. Lalu ada lagi kisah pengkhinatan dalam keluarga.
Erni Aladjai berkisah dengan narasi yang asyik dan membawa kita masuk dalam seluk beluk kehidupan keluarga dan tata niaga cengkih hingga sulit untuk meletakkan buku ini sampai halaman terakhir.
Lily Yulianti Farid @lilyyulianti , Penulis dan Peneliti, Monash Indigenous Studies Centre, Monash University, Melbourne sekaligus pendiri Makassar International Writers Festival akan membahas novel ini dalam podcast Coming Home with Leila Chudori Musim Tayang 6. Ikuti pembahasan Lily dan Leila tentang novel Erni yang unik, menyentuh dan akan melekat di dalam dirimu selamanya.
-
KUMPULAN CERITA “KITAB KAWIN”
“Hari itu sanggulmu berlebihan tapi membuatmu tampak anggun. Kemben kuning dan kain tapih pinjung gading membalut pinggangmu dengan sempurna, seolah kau dilahirkan untuk memendarkan kuning yang diidap setiap insan manusia semenjak lahir. Aku sendiri tak sudi berkebaya atau berbatik, tak sudi membawa serah-serahan yang sekadar simbolis tapi tak berguna….”
(“Celine & Isabel”, Kitab Kawin, Laksmi Pamuntjak)
Kali ini @laksmiwrites (“Kekasih Musim Gugur”, GPU, 2020) bercerita tentang 11 perempuan dengan berbagai persoalan, kepedihan, kebahagiaan, kegagalan sekaligus pencapaian mereka. Setiap kitab yang diberi judul nama para perempuan itu Rosa, Maya, Sarah, Celine & Isabel, Noura dan Arini, Lila, Amira, Hesti, Mukaburung dan seterusnya adalah kisah si perupa, si pekerja toserba, si karyawan, si instruktur yoga, hingga para ibu paruh baya dan juga gadis-gadis di resto Korea itu. Ada yang diduakan suami; ada yang dieksploitasi; ada pula yang jatuh hati pada isteri abangnya sendiri; ada yang dipaksa menikah pada usia yang sangat dini dan ada perempuan nun di Pulau Buru yang memiliki problematika sendiri.Laksmi menceritakan dengan bahasa yang renyah, sesekali terselip humor meski sesungguhnya kisah-kisah ini mengandung luka besar.
-
Buku “Wali Berandal Tanah Jawa”
“Pada malam itu…saya menjadi salah satu wajah yang muncul remang di tengah kilasan budaya ziarah Jawa. Adat berziarah itu menampakkan pola kontradiksi yang padat,mirip batik. Ketekunan keras bertabrakan dengan gelak-tawa, keingintahuan berbenturan dengan kebingungan, kesalehan bentrok dengan skeptisisme…..”
(“Wali Berandal Tanah Jawa”, George Quinn)
Budaya ziarah Jawa, dengan keragaman dan kontradiksinya, adalah gugatan terhadap ragam baku agama Islam yang semakin menguat di lanskap keagamaan Indonesia sejak 1980-an. Demikian salah menurut Ahli Sastra dan Kebudayaan Jawa Geroge Quinn dari Australian National University di dalam bukunya “Bandits Saints of Java” . Kini terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia baru saja diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul “Wali Berandal Tanah Jawa”.
Buku ini menjelajahi pribadi-pribadi dan cerita di dunia ziarah lokal yang unik, tempat Islam Timur Tengah bergulat dengan kekuatan kuno peradaban Jawa. Buku ini menghadirkan potret menakjubkan tentang Islam sebagaimana yang saat ini dipraktikkan oleh sebagian dari 150 juta penduduk Jawa; suatu gejala yang tidak selalu tertangkap mata wartawan, ilmuwan, dan wisatawan
Dengan bahasa yang asyik, kita berpetualang bersama Quinn yang mewawancarai para juru kunci dan peziarah untuk memahami orang Jawa yang mencoba memadukan agama dan tradisi lokal yang akarnya sudah tertanam jauh sebelum agama Islam masuk. Pada program podcast "Coming Home with Leila Chudori" , Prof George Quinn bukan saja menceritakan proses penelitiannya yang penuh kisah lucu dan unik selama di pulau Jawa, tetapi juga situasi terkini di mana penduduk Australia sudah bisa hidup relatif normal dengan menyaksikan sepak bola di stadium, karena pandemi bisa ditekan dengan baik hingga zero patient.
-
“Why Do We Need Bookstores”
Sebuah peradaban kota ditentukan oleh beberapa hal, salah satunya dengan kehidupan Museum, Perpustakaan dan Toko Buku. Di tahun 2000an, toko buku besar maupun kecil di Jakarta tumbuh cukup subur. Ada QB, Aksara, Kinokuniya selain juga Gramedia, Togamas dan beberapa toko buku independen. Setelah Toko Buku Kinokuniya Plaza Senayan tutup, para pembaca, penulis , penerbit dan penggiat literasi semakin khawatir: apalagi sesudah ini? Sebelumnya Toko Buku Aksara juga menyatakan berubah format online, seperti juga Toko Buku Kinokuniya kini dipusatkan ke Grand Indonesia. Persoalannya: mengapa pembaca buku tetap lebih merasa butuh toko buku? Mengapa toko-toko buku independen masih bisa bertahan? Kali ini @cominghomepodcast berkolaborasi dengan podcast @kepobuku . Yuk dengarkan diskusi bersama para host : Rane Hafied @rane , Hertoto Eko @hertoto , Steven Sitongan @ksatriabuku dan Leila Chudori.
-
NOVEL “YANG TAK KUNJUNG USAI” KARYA AWI CHIN
Riak Sungai Kapuas menyimpan cerita. Tentang Saul , anak Jakarta yang pindah ke Senjau, sebuah desa fiktif di dekat Sungai Kapuas, Kalimantan Barat; tentang Mey yang ingin bersekolah tinggi dan keluar dari kampungnya
; tentang Bagas, putera kepala adat yang diuji keimanannya. Seperti aliran air yang melarutkan buih, mereka bertiga terbelit dalam sebuah kisah cinta yang rumit.
Novel pertama Awi Chin @adorkableracer ini, produksi @thecommabooks @penerbitkpg, adalah sebuah kisah coming of age ; sebuah saat yang kita alami di mana lahir begitu banyak pertanyaan dan keinginan untuk mencari jawaban tentang identitas, makna persahabatan dan seksualitas.
Novel ini akan dibahas oleh penulis @rizaliwan yang akan menyorot bagaimana novel ini bukan hanya kisah cinta segi tiga biasa, melainkan sebuah kisah yang luar biasa emosional yang diramu dengan persoalan adat dan agama. Save the date ya.
-
“Kau baru berusia empat tahun, ketika di rumah itu, aku padam secara tak terduga. Padahal, usiaku sudah sepuluh tahun.”
Demikian Muna Masyari memulai ucapan Damar Kambang, sang lilin yang berupaya menerangi kegelapan. Novel "Damar Kambang" setebal 196 halaman ini berupaya menyingkap tradisi pernikahan Madura, di mana harkat dan martabat dijunjung tinggi melebihi segalanya. Cebbhing, gadis 14 tahun dari Desa Karang Penang, menjadi tumbal tradisi pernikahan itu. la terjebak dalam pergulatan hidup yang disebabkan oleh keputusan-keputusan orangtuanya. Cebbhing kemudian tak ubahnya seperti medan karapan sapi, tempat berbagai kekuatan magis saling bertarung dan berbenturan.
"Dalam perkembangan sastra mutakhir, Muna Masyari adalah sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar yang memukau,” demikian komentar sastrawan Budi Darma. Kali ini, program podcast “Coming Home with Leila Chudori” mengundang aktivis perempuan dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Atnike Sigiro untuk membahas posisi perempuan dan posisi anak di dalam novel ini dan juga dalam kehidupan nyata di Indonesia. Jangan lupa, selain pembahasan novel karya Muna Masyari, ada dua rekomendasi buku kumpulan puisi di podcast ini, yaitu karya Garin Nugroho dan Felix K.Nesi. Selamat mendengarkan perbincangan dan rekomendasi kami.
-
“It was a queer, sultry summer, the summer they electrocuted the Rosenbergs, and I didn’t know what I was doing in New York.”
Inilah pembukaan novel “The Bell Jar”, satu-satunya novel karya penyair Amerika Sylvia Plath yang dianggap sebagai Roman à clef , sebuah karya yang ditulis berdasarkan kisah nyata dan orang-orang nyata dengan perubahan nama dan tempat.
Novel “The Bell Jar” mengambil setting tahun 1950-an, mengisahkan Esther Greenwood, seorang gadis cerdas, cantik, berbakat dan yang kehidupannya seolah cemerlang di hadapannya. Namun setelah beberapa insiden, kita mengikuti serangkaian kegelisahannya dan upaya Esther menghabisi nyawanya sendiri. Kita mulai memasuki kekelaman jiwa dan mental Esther. Selain novel ini, penyair Sylvia Plath yang berhasil meraih Pulitzer Prize untuk kumpulan puisinya ini wafat tahun 1963 . Ia meninggalkan sejumlah buku puisi luar biasa ,antara lain "Ariel", "The Colossus", "Crossing the Water" dan "Winter Trees".
Aktris dan Produser @therealdisastr memilih novel ini untuk dibahas di podcast “Coming Home with @leilachudori ”. Selamat mendengarkan.
- Mehr anzeigen